[Masyarakat & Budaya, Vol. 28, No. 2, 2023]
Tatang Rusata dan Genardi Atmadiredja (Peneliti PMB BRIN)
Pasca Perang Dunia II, Jepang berjuang mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan angka harapan hidup warganya. Pemerintah mereformasi sistem kesehatan dengan teknik luar biasa. Hasilnya, dalam kurun waktu singkat Jepang mampu menaikkan angka harapan hidup warganya dari 58 tahun pada tahun 1950 menjadi 83 tahun. Itu tercatat sebagai angka harapan hidup terpanjang di dunia (Ikeda et al., 2011).
Setengah abad pasca naiknya angka harapan hidup tersebut, persoalan baru muncul. Jepang mendapati surplus lansia yang membuat biaya layanan sosial non-produktif membengkak. Sementara hibah dan pajak sebagai sumber dana cenderung stagnan bahkan turun (Takao, 2009). Fenomena berimbas pada naiknya janda tua meninggal soliter (kodokushi) akibat kurang perawatan atau putus asa bunuh diri sepi (Hashizume, 2022).
Jepang menghadapi darurat demografi sehingga muncul gagasan tentang suntik mati. Hingga saat ini, ide eutanasia atau menghilangkan penderitaan dengan mengakhiri hidup bagi lansia tetap mengundang debat profesional. Undang-undang pemerintah pun menganggap praktik itu ilegal (Yasunori, 2021). Melalui film Plan 75, sutradara Chie Hayakawa berimajinasi bagaimana jika pemerintah Jepang serius menjalankan program eutanasia sukarela bagi manula di atas 75 tahun.
Pada kenyataannya, film tersebut merupakan potret realitas sosial yang tumbuh berkembang di masyarakat. Film tersebut memiliki kekuatan menjangkau banyak segmen hingga berpotensi membentuk pandangan luas (Majid, 2020). Melalui film Plan 75, sutradara memandang inisiatif pemerintah meski terlihat penuh niat baik, santun, dan bersahabat, tetapi sebenarnya sangat pragmatis, kejam, intoleran, dan memalukan (AFP, 2022).
Melalui semiotika interpretatif sebagai upaya menganalisis makna teks, simbol, atau tanda (Majid, 2020), tulisan ini memungut refleksi atas isu kependudukan manula dan hubungannya dengan budaya. Mengapa film Plan 75 ini menarik, antara lain 1), sebagai produk budaya film secara substil mengkritisi bagaimana mesin propaganda pemerintah bekerja mengatasi persoalan surplus manula, 2) film ini mendapat respons baik dari kritikus film internasional dan meraih penghargaan di Festival Film Cannes (Debruge, 2022), dan 3) Jepang yang tengah menghadapi super-aging dapat menjadi laboratorium bagi Indonesia menarik komparasi akan kebijakan terhadap menyusutnya usia produktif dijalankan.
Plan 75 dan Makna Simbol
Pembunuhan baru saja terjadi. Seorang pemuda berlumur darah memegang senjata api. Eksposisi opening yang menjerumuskan konsentrasi penonton pada kesan awal yang kuat. Penonton didorong pada alur cerita mengundang tanya. Usai melakukan aksi si pemuda bernarasi agar tindakannya membuka diskusi tentang masalah surplus manula. Lalu letupan menandai si pemuda pun mengakhiri nyawanya sendiri. Ini opening yang oleh neoformalis, pintu menciptakan seri ekspektasi agar penonton merasakan pengalaman yang membuatnya tidak berpaling hingga ending (Hagener, 2010).
Lalu kamera beralih pada Mishi, perempuan lansia yang bekerja di hotel. Mishi hidup sendiri di apartemen sempit dan sepi. Selain menyoroti janda tua plot berkisah pada Maria pekerja imigran asal Filipina dan Himoru, pemuda tampan agen perekrutan program Plan 75.
Demi mengusir sepi sesekali Mishi mengudang temannya untuk sekadar makan apel iris. Dalam budaya Jepang berbagi apel merupakan doa untuk kebahagiaan. Kegiatan lain adalah berkaraoke. Kelak lagu yang dinyanyikan Mishi di tempat karaoke itu, dihadirkan ulang sebagai pengantar kematiannya.
Realitas manula sebagai kaum tak disenangi karena menjadi beban dan harus menemukan sendiri cara bertahan terus diproyeksikanya dengan estetik sekaligus kelam. Kita lihat di tengah malam dingin Mishi bekerja sebagai pengatur lalu lintas. Di lain scene anak muda memperlakukannya kasar karena tak tahu cara mengoperasikan komputer.
Meski mengundang kontroversi, banyak lansia yang tertarik program Plan 75. Staf perekrutan Plan 75, Hiromu pandai menjelaskan. Peserta suntik mati akan menerima dana besar dan jasa pemakaman gratis. Permintaan makan enak atau liburan mewah pun dilayani sebelum dijemput suntik mati.Tak ada birokrasi sulit, semua tawaran tidak perlu persetujuan keluarga atau dokter.
Di awal Mishi enggan ikut Plan 75. Tapi saat ia kena PHK dan mendapati beberapa temannya kodokushi. Tak ada pilihan lain, Mishi menyerah. Suntik mati Plan 75 jadi solusi. Keputusan bulat yang disoraki dengan simbol keberhasilannya menggolkan pin bowling. Di sini sutradara tak hanya mendemonstrasikan gagasan ke dalam film, tetapi juga pesan menggugah. Juga di lain waktu seorang kakek peserta Plan 75 yang meneguk segelas sake terakhir demi menenangkan diri. Meski begitu, rasa tertekan menghadapi ajal tak dapat disembunyikan. Sang kakek muntah-muntah jelang tiba di tempat eutanasia.
Dalam budaya populer Jepang, kehadiran hewan merupakan simbol bermakna. Bagi penyuka anime mungkin memperhatikan di antaranya terdapat burung gagak (karasu). Burung gagak dalam budaya Jepang melambangkan syukur, cinta keluarga, dan sosok utusan dewa pertanda baik. Dalam budaya lain, gagak kerap dikaitkan dengan kematian atau petaka. Dalam dualisme interpretasi film tidak terlepas dari referensi penonton untuk menafsirkannya. Dalam film ini langit kelabu disertai burung gagak seolah menandai semakin dekatnya kematian bagi lansia peserta Plan 75.
Dengan latar belakang darurat demografi film karya Hayakawa, relevan dan tepat waktu. Ia menunjukkan bahwa keputusan melanjutkan hidup dan intervensi kematian warga bukan sesuatu yang dapat dijelaskan semata pendekatan teknis kebijakan ekonomi yang rasional dan logis. Melalui ekspresi sinematik ia menggugah. Bagaimana pun semua akan menua pada akhirnya. Melalui iklan yang ditayangkan televisi yang kemudian dihentikan paksa makin tegas bahwa Plan 75 tak punya empati: “…manakala Anda tidak punya pilihan kapan dan di mana saat dilahirkan, alangkah baiknya saat ajal menjelang Anda bisa memilih tanpa ragu kapan dan di mana Anda akan dimatikan…”
Refleksi bagi Bangsa yang Meniti Tua
Cerita dalam film tidak hanya berupa pancaran realitas masyarakat yang dipantulkan ke dalam pita digital. Penuaan di Jepang dilematis. Warga yang menjadi terlalu tua bukan hal baik. Mereka berjuang sendiri agar tidak miskin atau sepi. Di awal pengembangan ide Hayakawa melakukan riset dengan mewawancarai 15 lansia dengan berbagai latar belakang. Hasilnya jika benar Plan 75 diadakan, banyak dari mereka bersedia ikut karena tak ingin menjadi beban.
Jika ditempatkan pada Indonesia, meski ada argumen terbuka jendela peluang (window of opportunity) di mana angka usia tanggungan relatif kecil, tapi jumlah usia di atas 60 terus meningkat per tahunnya. Menurut BPS 9,92% dari populasi Indonesia adalah lansia (Ramadhan, 2021). Kondisi ini akan berdampak pada ekonomi dengan menurunkan jumlah angkatan kerja, produktivitas, dan kredit tabungan (Bloom et al., 2008). Melalui film Plan 75 terbuka empati juga kesadaran, bahwa menjadi tua dan tetap sehat adalah landasan terbaik. Bahkan seperti disebutkan Sri Adioetomo (Adioetomo, 2010) bukan tidak mungkin ada bonus demografi jilid dua apabila kaum lansia tetap sehat, produktif berkegiatan ekonomi.
Referensi:
Adioetomo, S. M. (2010). Transisi Demografi: Tantangan dan Harapannya. I. J. Azis (Ed.), Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim (Issue September 2010, p. 496). KPG Gramedia.
AFP. (2022). Kill Japan’s elderly? Cannes film probes chilling idea. Www.France24.Com. https://www.france24.com/en/live-news/20220521-kill-japan-s-elderly-cannes-film-probes-chilling-idea
Bloom, D. E., Canning, D., & Finlay, J. E. (2008). Population Aging and Economic Growth in Asia. Harvard School of Public Health, Dec 61–89. https://doi.org/10.7208/chicago/9780226386881.003.0003
Debruge, P. (2022). ‘Plan 75’ Review: Japan’s Thought-Provoking Oscar Submission Chides Society. Variety.Com. https://variety.com/2022/film/reviews/plan-75-review-1235403356/
Hagener, T. E. and M. (2010). Film Theory: An introduction through the senses. Routledge.
Hashizume, Y. (2022). A retrospective study on solitary deaths (kodoku-shi) from the aspects of forensic. Research Square, 1–19. https://doi.org/https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-1636661/v1 License:
Ikeda, N., Saito, E., Kondo, N., Inoue, M.. (2011). What has made the population of Japan healthy? The Lancet, 378(9796), 1094–1105. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(11)61055-6
Ishioka, H. N. (2000). Parent-Adult Child Relationships in Japan. Review of Population and Social Policy, 9, 221–238.
Majid, A. (2020). Representasi Sosial dalam Film “Surat Kecil Untuk Tuhan” (Kajian Semiotika dan Sastra). Diskursus: Jurnal Pendidikan, 2(02), 101. https://doi.org/10.30998/diskursus.v2i02.6668
Ramadhan, A. P. (2021, June). Lansia dan Pemerintah. Kompas.Id, 6.
Takao, Y. (2009). Aging and political participation in Japan: The dankai generation in a political swing. Asian Survey, 49(5), 852–872. https://doi.org/10.1525/as.2009.49.5.852
Yasunori, A. (2021). A Life or Death Choice: Japan’s Euthanasia Debate Raises Difficult Questions. Www.Nippon.Com. https://www.nippon.com/en/in-depth/d00644/
_____________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Tatang Rusata alumnus Fakultas Sastra Unpad. Pada 2008 sebagai copy writer di Metro TV. Pada 2011, PNS di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada 2022 sebagai peneliti PMB BRIN dengan fokus kajian pariwisata. Tatang dapat dihubungi melalui email tata014@brin.go.id
Genardi Atmadiredja adalah peneliti bidang Seni Rupa di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PMB-BRIN). Fokus Kajian yang menjadi peminatan terkait Sejarah dan Estetika Seni. Genardi dapat dihubungi melalui gena001@brin.go.id
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial