Jakarta, Humas LIPI. Tata kelola Sumber Daya Alam  (SDA) sangat membutuhkan peran serta masyarakat sebagai penggerak yang memiliki interaksi dalam menjaga kelestarian serta menggali potensi sumber daya alam. “Peran masyarakat sangat penting karena mengetahui apa yang sebenarnya ada di lingkungannya”, ujar Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI, Dr. Sri Sunarti Purwaningsih, dalam acara webinar “Tata Kelola Sumber Daya Alam Kawasan Hutan dan Pesisir: Isu Permasalahan dan Solusinya”, pada Rabu (5/8). Sunarti menyebutkan, dalam tata kelola SDA, salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan cara pendekatan ekosistem, bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan ekosistem itu sendiri.

Peneliti PMB LIPI, Letsu Vella Sundari menjelaskan, pendekatan ekosistem mencoba mengakomodir manusia dengan keragaman budayanya, juga sekaligus dikaitkan dengan keragaman biologis keanekaragaman hayati sehingga semua unsur menjadi prioritas utama. “Kami mencoba menjalin integrasi, partisipasi dan kolaborasi pada tata kelola di tiga titik ekosistem, yaitu ekosistem hutan, ekosistem terestrial terbangun seperti pertanian dan perkebunan, serta ekosistem pesisir”, ujar Vella. Dirinya menambahkan bahwa, tata kelola SDA di Indonesia masih cenderung fragmented, padahal kerusakan di salah satu ekosistem dapat saling berpengaruh kepada ekosistem lainnya.

Vella mengungkapkan ada dua belas prinsip pendekatan ekosistem CBD (Convention on Biological Diversity) yang dapat digunakan sebagai acuan dalam tata kelola SDA, yaitu keberlangsungan protektif keseluruhan kekayaan biologis yang bermanfaat dan dapat dirasakan secara adil dan merata ke seluruh pihak yang berkehidupan di dalam ekosistem tersebut. “Utamanya, kelompok yang termarginalkan seperti masyarakat adat, penduduk asli, warga miskin, wanita dan anak-anak”, terangnya.

Berikutnya, rincian dari sebelas prinsip pendekatan ekosistem lainnya yaitu, (1). Desentralisasi manajemen hingga level terkecil; (2). Pengelolaan ekosistem yang memperhatikan pengaruh aktivitas tata kelola pada kehidupan masyarakat sekitar; (3). Mengenali potensi yang diperoleh dalam tata kelola; (4). Melakukan konservasi untuk memaksimalkan fungsi alam bagi masyarakat; (5). Pengelolaan ekosistem sebagaimana fungsinya (hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, dll); (6). Pendekatan ekosistem harus diletakkan dalam skala spasial dan temporal yang sesuai; (7). Mengenali variasi skala temporal untuk tata kelola ekosistem jangka panjang; (8). Tata kelola yang adaptif terhadap perubahan; (9). Tata kelola yang mempertimbangkan keseimbangan dan integrasi konservasi dan penggunaanya; (10). Mengakomodir integrasi pengetahuan lokal dan akademis; (11). Melibatkan semua sektor sosial dan bidang keilmuan yang relevan. 

“Tata kelola SDA dengan pendekatan ekosistem dilandasi dengan UU No. 32 Tahun 2019 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, RPJMN 2020-2024 dan telah dijabarkan secara detail dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) tentang pentingnya integrasi antara ekosistem darat, pesisir dan laut”, tutup Vella. (iz/ed:mtr/rann001)

 

Ilustrasi: Suara