Home Artikel Dibalik Aroma Wangi Kopi Balerante: Membaca Perjuangan Petani di Lereng Merapi

Dibalik Aroma Wangi Kopi Balerante: Membaca Perjuangan Petani di Lereng Merapi

0

[Masyarakat & Budaya, Vol. 27, No. 2, September 2022]

Oleh Djoko Puguh Wibowo (Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas (PR-KSDK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Harum khas aroma disertai kekayaan rasa kopi arabika dapat dinikmati sambil melihat keindahan panorama Gunung Merapi di Desa Balerante. Suasana asri dan ketenangan desa diselingi seruput kopi di pagi atau malam hari dapat menjadi pelepas penat dari hiruk pikuk kesibukan setiap harinya. Artikel ini bertujuan untuk menceritakan proses pengembangan komoditas kopi dan desa wisata di Desa Balerante disertai kesulitannya yang perlu ditengahi. Terdapat beberapa kesulitan yang dihadapi penulis mulai dari resistensi simbolik, kekhawatiran akan ketidakadilan, juga resistensi yang dilakukan sebagai bentuk kreativitas dalam mencari dukungan. Pada bagian akhir disampaikan beberapa kunci keberhasilan pengembangan kopi di Desa Balerante dari aspek pemasaran dan penggunaan teknologi sebagai sarana pendampingan.

Momentum mengembangkan kopi Balerante terjadi saat akhir diskusi tentang kebencanaan di mushola Desa Glagaharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman tahun 2017. Berbekal keaktifan dan permintaan sahabat saya yang juga perangkat Desa Balerenta untuk melakukan kajian pengembangan desa, dimana kami menemukan 4 aspek penting untuk hal tersebut. Kelima aspek penting tersebut adalah potensi kewanangan (hak asal-usul dan skala desa), pendaan (dana desa), potensi pesona landskap Merapi yang dibalut budaya sebagai atraksi wisata, dan tanaman kopi yang tersebar di pekarangan masyarakat.

Berangkat dari  pemikiran  (Suansri, 2003)  tentang ekowisata,  saya mengapdopsi konsep yang bersifat “ideologis” itu sebagai strategi untuk mengembangan Balerante sebagai destinasi wisata. Sebagai salah satu kawasan di di Lereng Merapi. Balerante dikepung oleh pesona dan keindahan bentang  lanskap Merapi, kesuburan tanah dan material erupsi Merapi. Ketiga hal tersebut dimaknai sebagai sumberdaya penghidupan dan dimanfaatkan secara arif untuk adaptasi terhadap dinamika ekologi. Di sisi lain, Balerante juga merupakan ruang pembelajaran bagi semua pihak (wisatawan) untuk belajar dan memahami tata kehidupan masyarakat di kawasan rawan bencana yang secara harmoni dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan Merapi. Pada pelaksanaannya akvitias utama ekowisata  Balerante ditopang oleh wisata alam, mitigasi dan konservasi, serta ekonomi lokal (Puguh Wibowo et al., 2018).  Di sisi lainnya komoditas kopi berperan sebagai pilar mitigasi dan konservasi (natural mitigation) sekaligus diversifikasi pendapatan masyarakat (economic mitigation).

 

Perlawanan dan Jalan Tengah

Membaca ulang hasil kajian sebelumnya ada indikasi bahwa upaya mengajak petani muda Belarante untuk mengembangkan kopi akan muncul resistensi dan perlawanan. Seperti karakteritik kawasan perdesan pada umunya, masyarakat Balerante mempunyai tipe modal sosial terikat (bonding social capital). Tipologi modal sosial demikian hanya  dapat ditingkatkan dalam waktu pendek melalui peningkatan kapasitas dan pendampingan (pemberdayaan) secara intensif dan setempat (Claridge, 2004).

Tanda-tanda resistensi dan perlawanan dari masyarakat sudah muncul pada beberapa pertemuan dan tahapan proses awal budidaya tanaman kopi. Saat pertemuan awal saya menyampaikan akan memberikan bantuan 7000 butir kopi jenis Arabika (coffee Arabica) yang cepat berproduksi, bagaimana cara budidaya kopi dan keuntungannya, dan meminta kesediaan mereka menjadi anggota kelompok pengelola. Sayangnya, mereka bersikap acuh, lebih sibuk memainkan handphone, ngobrol dengan sesama temannya. Demikian juga pada pertemuan membahas lokasi persemaian, dimana mereka menolak apabila persemaian ditempatkan di halaman rumah salah satu anggota kelompok   dan terdapat sumber air. Sikap yang sama terjadi pada saat syarat untuk menyemai biji kopi harus menggunakan teknik hamparan maupun tidak mau melanjutkan pembelian kopi dari masyarakat dan mngolahnya menjadi biji kopi (green bean) sebagai pembelajaran. Sikap-sikap seperti uraian di atas adalah ragam bentuk resistensi perlawanan. Walaupun tidak diungkap dengan cara-cara yang lugas dan frontal bahkan mungkin ”tidak rasional” bagi kebanyakan orang. Saya membaca itu adalah perlawanan simbolik masyarakat perdesaan yang saya perhitungkan sebagai faktor penentu (determinant factor) keberhasilan dan harus diperdebatkan, dikompromikan hingga mencapai kesepakatan sebagai solusi/jalan tengah. Sebaliknya  mengesampingkan  perlawanan simbolik  justru akan memukul bailk dan membawa akibat-akibat yang tidak diperhitungkan sebelumnya (Siahaan, 1999).

Dibalik sikap acuh, menolak teknik pembenihan, tidak mau membagikan kelompok bibit, menghentikan pembelian buah kopi dan meviralkan proses pengolahan ternyata mereka mempunyai argumen yang rasional.  Belum percaya kepada orang luar yang tiba-tiba punya ide dan gagasan mengembangkan tanaman kopi yang hasilnya baru bisa dirasakan kurang lebih 4 tahun kemudian adalah wajar. Terkait teknik pembibitan, mereka meyakini bahwa  pembibitan menggunakan polybag  pada saatnya dapat langsung bisa ditanam, sehingga tidak membutuhkan tenaga tambahan.  Perlawananan lain yang mencuat adalah ketika mereka yang tergabung dalam kelompok pembibitan tidak bersedia menbagi/mendistribusikan kepada masyarakat, dan diprioritaskan mengambil bibit sebanyak mungkin sesuai dengan luas kebunnya. Alasan yang dilontarkan cukup menakjubkan, pertama, mereka takut kalau dianggap berlaku tidak adil. Kedua, sudah bangga dan puas dengan kerja kelompoknya karena dapat melakukan pembibitan kopi sehingga tumbuh dengan subur dan tingkat kematian bibit kecil.

Perlawanan dalam bentuk lain juga diperlihatkan dan direspon masyarakat lokal dan mungkin masyarakat umum sebagai kreativitas.  Momen tersebut muncul saat kelompok pembibitan mereka  belajar usaha dengan membeli kopi dari masyarakat dengan jumlah cukup besar dan melakukan proses pengupasan kulit buah kopi tanpa peralatan. Mereka memasukkan buah kopi ke dalam kantong plastik dan diinjak secara berulang. Belajar menyangrai biji kopi menggunakan kaleng bekas roti yang ujungnya dilas batangan besi sebagi ponopang dan memanggangnya di atas tungku.  Kedua aktivitas sederhana itu kemudian didokumentasikan menggunakan handpone dan ditransmisikan ke grup whatapp maupun sosial media sehinga menjadi bahan pembicaraan masyarakat desa maupun aparat desa. Perbuatan ini disatu sisi dimaknai sebagai bentuk kreativitas. Namun, tindakan mereka adalah  bentuk perlawanan simbolik yang intinya menuntut  diberi peralatan pengupas buah kopi dan peralatan sangrai yang dipasaran harganya tidak mahal.

Dinamika resistensi dan perlawanan Balerante dapat diredam dan akhirnya membuahkan keberhasilan dimana kuncinya adalah mendampingi mereka secara intens dan berbasis bukti. Mendampingi mereka tidak diartikan sepanjang waktu bersama mereka. Di dalam prosesnya dapat dilakukan pada momen-momen penting maupun melalui komunikasi digital menggunakan grup whatsapp. Cara demikian membantu mereka dapat mengatasi persoalan secara cepat. Sedangkan berbasis bukti bisa dilakukan dengan mengajak mereka berkunjung di berbagai warung kopi dan berdiskusi sehingga mereka dapat melihat secara nyata bagaimana industri kopi yang dikelola secara sederhana dapat menopang kehidupan.

 

Membangun Narasi dan Ekosistem

Sumber: Dokumentasi Penulis

Estafet pengelolaan kopi dari kelompok pembibitan ke kelompok budidaya adalah keberhasilan awal pengembangan kopi di Balerante, namun bukan pekerjaan akhir dari kegiatan pendampingan.   Pada ekosistem industri kopi special (special coffee), petani dan budidaya adalah subsistem  hulu  yang  mempunyai keterkaitan dengan subsistem hiilr, warung kopi dan rumah sangrai (artisan).  Masing-masing merupakan subsitem dari ekosistem industri kopi yang saling berhubungan. Subsistem hilir jelas mempunyai ketergantungan terhadap suplai kopi berkualitas sepanjang waktu. Sebaliknya substem hulu mempunyai kepentingan kelancaran pemasaran hasil dengan harga yang wajar.

Sejak awal, kopi Balerante dinarasikan sebagai kopi spesial (Special coffee), yang disusahakan tidak dalam skala luas, diproses dengan standar ramah lingkungan, dan diposisikan sebagai bagian kegiatan konservasi. Adanya karakteristik tersebut menjadikan biji kopi (green bean) dari Desa Balerante mempunyai nilai tinggi dan tidak dipasarkan secara bebas, tetapi dibeli oleh rumah sangrai di dalam jaringan pemasaran. Oleh sebab itu, membangun dan membentuk jaringan pemasaran dengan narasi nilai ekosistem merupakan salah kunci  dalam industri kopi  Balerante.

Proses pembangunan jaringan pemasaran tidaklah dimulai setelah semua proses selesai, tetapi justru dilakukan bersamaan sejak dimulainya kegiatan pembibitan termasuk jaringan dengan beberapa warung/kafe kopi artisan di kota Klaten, Yogyakarta hingga ke DKI Jakarta.  Pada prakteknya,    kemitraan dalam industri kopi (artisan) tidak terbatas pada transaksi jual beli biji kopi, tetapi juga transformasi pengetahuan/ketrampilan, terbukanya saluran  promosi maupun penguatan narasi kopi. Dalam kontek narasi, mereka selalu menginformasikan tentang karakeristik kopi yaitu: daerah asal usul, cara pengolahan (pelaku dan teknik), rasa dan aroma pada label kemasan. Sehingga karakter  tidak akan hilang dan mudah ditelusur (traceability). Pada akhirnya prinsip itulah inilah yang saya pedomani untuk mengembangkan kopi Balerante di Lereng Merapi sejak tahun 2017 dan berhasil mengisi ceruk pasar special coffee yang masih terbatas.

Belajar dari pengembangan kopi Balerante, keberhasilan pengenalan ide baru ditentukan kemampuan membaca dan memahami resistensi dan perlawanan simbolik dan melakukan negosisasi untuk menemukan jalan tengah sebagai kesepakatan kolektif. Penting untuk menumbuhkan aksi bersama dilandasi keyakinan dan kesadaran bahwa menanam kopi adalah tindakan nyata merawat alam Merapi sekaligus sebagai uupaya beradaptasi terhadap dinamika aktivitas Merapi. Disi Lain, pengembangan kopi dapat dibaca sebagai aksi elegan perjuangan petani Balerante melawan hagemoni  industri pertambangan yang sangat ekstraktif dan eksploitatif dan apabila tidak terkendali akan terwujud “tragedi kepemilIkan bersama” di Lereng Merapi. (editor: Dicky Rachmawan)

 

Referensi

Claridge, T. (2004). Social Capital and Natural Resource Management: An important role for social capital? Natural and Rural Systems Management, July, 90. https://www.socialcapitalresearch.com/wp-content/uploads/2013/01/Social-Capital-and-NRM.pdf

Puguh Wibowo, D., Dwi M., B., & Astuti, M. (2018). Local Economic Development Tourism Village on the slopes of Mount Merapi (Case Study in Balerante Village Community Kemalang District Klaten District). Scientific Research Journal, VI(XI). https://doi.org/10.31364/scirj/v6.i11.2018.p1118580

Siahaan, H. (1999). Anarki Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi Di Pedesaan. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Poltik, 2(3), 60–70.

Suansri, P. (2003). Community based tourism handbook. In Community Based Tourism Handbook. https://www.mekongtourism.org/wp-content/uploads/REST-CBT-Handbook-2003.pdf

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Djoko Puguh Wibowo adalah Peneliti Utama pada Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas PR-KSDK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).  Ketertarikan antara lain pada isu-isu pengembangan pariwisata, ketahanan pangan dan kebencanaan. Tahun 2017 sampai sekarang sebagai  inisiator dan mendampingi Pemerintah Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten dalam pengembangan Kopi dan Ekowisata (mitigasi dan konservasi, wisata alam,  ekonomi lokal).

NO COMMENTS

Exit mobile version