[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 1, Mei 2022]

Oleh Firhandika Ade Santury (Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan, UNDIP)

Dewasa ini, pariwisata menjadi kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Kebutuhan tersebut didukung dengan berbagai sumber daya alam, dan keragaman budaya yang mampu menopang kehadiran sektor pariwisata di Indonesia (Damayanti, 2014). Berdasarkan data yang diperoleh dari The Travel & Tourism Competitiveness Report 2019 yang disusun oleh World Economic Forum, menyebutkan bahwa Indonesia masuk dalam rangking ke-40 dari 140 negara dalam index daya saing pariwisata (Kompas, 2019). Tidak heran bila kemudian sektor pariwisata menjadi salah satu fokus pengembangan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Terlebih pariwisata diramalkan akan menjadi sektor penggerak utama perekonomian pada abad 21 bersama industri telekomunikasi dan teknologi informasi (Juanda & Rahman, 2016).

Belakangan ini, proses pengembangan wisata di Indonesia sempat mengalami hambatan besar dengan merebaknya wabah virus covid-19 sejak 2020 silam. Sebagai bentuk respon untuk menghadapi virus tersebut, pemerintah melarang seluruh aktivitas yang berpotensi “berkerumun” (Kadarisman, 2021). Dalam sektor wisata, hal tersebut berimbas terhadap pemberhentian operasional pariwisata untuk sementara waktu. Dalam banyak hal, kebijakan tersebut berdampak terhadap menurunnya kondisi ekonomi masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata (Musfiroh, 2021).

Namun demikian, perlu diketahui jika terdapat beberapa jenis pariwisata yang tetap bertahan dan tidak terdampak secara serius oleh tersebut di atas, salah satunya adalah wisata berbasis komunitas seperti Desa Ekowisata Pancoh yang terletak di Sleman, Yogyakarta. Desa ekowisata adalah kegiatan wisata di desa berbasis lingkungan-budaya yang dikelola masyarakat dan memberikan pengalaman baru bagi wisatawan dengan keunikannya masing-masing (Rohani & Purwoko, 2020). Konsep ekowisata dalam Desa Ekowisata menggunakan kegiatan keseharian masyarakat setempat sebagai objek yang ditawarkan kepada khalayak.

Tentang Desa Ekowisata Pancoh

Desa Ekowisata Pancoh secara resmi terbentuk pada tahun 2012 silam. Terbentuknya Desa Ekowisata Pancoh tidak dapat dilepaskan dari erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010. Ketika itu, warga Pancoh bersama Lembaga Swadaya Masyarakat Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) melakukan babat alas atau penataan lahan desa kembali pasca erupsi di tahun 2011. Dalam proses pembentukan, warga dibantuk oleh LSM LPTP untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk menjadikan Pancoh sebagai kawasan wisata. Setelah itu, LSM LPTP mulai berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup  dan Pusat Pariwisata Universitas Gajah Mada dan kemudian terciptalah konsep Desa Ekowisata Pancoh yang  dikukuhkan pada 14 Februari tahun 2012 (Endiyanti & Sarwadi, 2021).

Desa Ekowisata Pancoh adalah destinasi wisata yang menekankan kepedulian lebih terhadap lingkungan dan alam setempat. Setiap pengunjung dibatasi berdasarkan daya tampung lingkungan. Di Pancoh, batas maksimal pengunjung adalah 500 orang dalam satu hari. Selain itu, paket utama yang ditawarkan adalah wisata live in selama beberapa hari bersama masyarakat setempat (Harian Jogja, 2021). Oleh karena itu, operasional Desa Ekowisata Pancoh selalu melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengembangan dan pengelolaan sehingga bermanfaat bagi masyarakat lokal (Denman, 2001).

Terdapat dua bentuk keterlibatan warga dalam pengelolaan Desa Ekowisata Pancoh hingga saat ini. Pertama, menyediakan fasilitas wisata berupa tempat tinggal. Desa Ekowisata Pancoh menyediakan beberapa fasilitas home stay bagi para pengunjung. Secara keseluruhan, tercatat terdapat puluhan kamar home stay yang kesemuannya adalah milik warga. Setiap rumah diberika kuota satu kamar dengan kapasitas maksimal 4 orang (Endiyanti & Sarwadi, 2021). Hal ini dilakukan untuk memastikan terpenuhinya aspek keadilan bagi setiap warga.

Sebelum menentukan alokasi setiap kamar, warga selalu melakukan sebuah forum kecil untuk melakukan sinkronisasi jadwal di bawah arahan koordinator pengurusnya. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan ketersediaan kamar home stay ketika pengunjung ingin berwisata ke Pancoh. Meskipun sebagian ruang rumah warga dijadikan kamar home stay, akan tetapi warga tetap memiliki otoritas penuh atas rumahnya. Termasuk dalam menentukan peraturan bagi setiap pengunjung yang ingin bermalam di kamar home stay miliknya.

Kedua, menyediakan destinasi wisata. Masyarakat Pancoh memiliki segmentasi yang beragam berdasarkan mata pencaharian dan aktivitasnya, seperti kelompok masyarakat petani, peternak, perikanan, dan kebudayaan. Dalam operasionalnya, Desa Ekowisata Pancoh menjadikan aktvitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tersebut sebagai tawaran paket wisata. Oleh karena itu, setiap pengunjung yang datang akan didampingi oleh kelompok masyarakat tersebut seperti bercocok tanam, berkebun, menangkap ikan, dan lain sebagainnya. Selain itu, ada pula paket wisata yang menawarkan keterlibatan pengunjung dalam tradisi atau aktivitas kebudayaan masyarakat Pancoh, seperti menari dan bermain gamelan misalnya.

Ketahanan Ekonomi Selama Pandemi

Pada kenyataannya memang Desa Ekowisata Pancoh memiliki daya tarik dan dampak ekonomi yang begitu tinggi bagi masyarakat. Pernah suatu ketika, dalam satu tahun pendapatan kotor mencapai angka 1 milyar rupiah (Detik, 2018). Pendapatan terbesar diperoleh dari tarif pengunjung yang memilih paket wisata live in lengkap dengan kegiatan seperti, bertani, berternak, pertunjukan kebudayaan, tangkap ikan dan home stay. Sebagian pendapatan tersebut digunakan untuk pengembangan pengelolaan wisata seperti pembangunan dan perawatan infrastruktur fisik hingga kegiatan pelatihan wisata untuk masyarakat (Endiyanti & Sarwadi, 2021).  Selama hampir 12 tahun berdiri, Desa ekowisata Pancoh telah meraup berbagai penghargaan kejuaraan desa ekowisata secara berturut-turut dari tahun 2016, 2017, dan 2018 (Harian Jogja, 2021).

Selama pandemi, kegiatan wisata di Desa Pancoh tidak berjalan sama sekali. Hal ini mengakibatkan tidak adanya pendapatan yang dihasilkan masyarakat dari sektor wisata tersebut. Namun demikian, hal ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan jika selama pandemi, masyarakat Pancoh memiliki ketahanan ekonomi yang relatif stabil. Menurut Yusgiantoro, ketahanan ekonomi dapat dipahami sebagai sebuah kondisi terjaminnya berbagai sumberdaya guna memenuhi kebutuhan akan rasa aman dari ancaman (Yusgiantoro, 2014).

Sebelum lahirnya konsep desa ekowisata, masyarakat Pancoh memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani dan berternak secara organik. Mereka memanfaatkan kotoran ternak untuk aktivitas pertanian seperti padi, jagung, salak, dan sebagainya (Purwanto, 2018). Hasil dari pertanian dan peternakan tersebut menjadi sumber pangan dan penghasilan utama masyarakat. Hal itu tidak berubah ketika Desa Ekowisata Pancoh didirikan. Bedanya, saat ini aktivitas bertani dan berternak mereka dikomersialkan sehingga pendapatan mereka bertambah. Hal tersebut menunjukan jika keterlibatan mereka dalam pariwisata hanyalah untuk mendapatkan pendapatan tambahan di samping sumber pendapatan utama mereka yang hidup dari alam (Endiyanti & Sarwadi, 2021). Oleh karena itu, ketika pandemi terjadi dan operasional desa ekowisata tidak berjalan, mereka hanya kehilangan pendapatan tambahan.

Sementara itu, sumber pendapatan utama mereka dari alam tetap terjaga: petani tetap menggarap sawah, mengurus kebun, dan peternak tetap mengurus ternak. Sebetulnya, ketahanan ekonomi masyarakat Pancoh sempat sedikit tergoncang, terutama pada sektor pertanian. Hal ini lantaran mandegnya distribusi buah-buahan ke beberapa daerah, termasuk Bali, karena naiknya kasus masyarakat yang terpapar virus (Desa Ekowisata Pancoh, 2021). Namun, hal tersebut tidak berjalan lama dan ketahanan ekonomi masyarakat pun kembali stabil.

Desa Ekowisata Pancoh adalah salah satu contoh tepat dalam pengembangan sektor pariwisata. Adalah sesuatu hal yang mungkin mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui sektor pariwisata tanpa mengorbankan lingkungan setempat dan tetap mempertahankan aktifitas dasar masyarakat, baik berupa mata pencaharian ataupun adat dan tradisi. Lebih jauh, konsep desa ekowisata justru mampu menjadi alternatif lain dalam mempertahankan atau melestarikan alam dan kearifan lokal masyarakat beriringan dengan terciptanya ketahanan ekonomi masyarakat. (Editor: Dicky Rachmawan)

Referensi:

Damayanti, E. (2014). Strategi Capacity Building Pemerintah Desa dalam Pengembangan Potensi Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal (Studi di Kampoeng Ekowisata, Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Brawijaya University. http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jap/article/view/408

Denman, R. (2001). Guidelines for community-based ecotourism development. WWF international Gland.

Desa Ekowisata Pancoh. (2021). Berwisata di Desa Ekowisata Pancoh Saat Pandemi Covid-19. https://www.youtube.com/watch?v=cpwZfxhCmiU

Detik. (2018). Main ke Sleman, Desa Wisata Pancoh Destinasinya. https://travel.detik.com/domestic-destination/d-4092015/main-ke-sleman-desa-wisata-pancoh-destinasinya

Endiyanti, S. R., & Sarwadi, A. (2021). Pengelolaan Ekowisata Di Desa Wisata Pancoh, Turi, Sleman, Yogyakarta. Cakra Wisata, 22(2), 34–46. https://jurnal.uns.ac.id/cakra-wisata/article/view/55209

Harian Jogja. (2021). Bupati Sleman Kenalkan Desa Ekowisata Pancoh, Pengunjung Bisa “Guyang” Sapi dan Membatik. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2021/03/22/512/1066899/bupati-sleman-kenalkan-desa-ekowisata-pancoh-pengunjung-bisa-guyang-sapi-dan-membatik

Juanda, Y. R., & Rahman, A. Z. (2016). Implementasi Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dalam Kebijakan Desa Wisata di Kelurahan Kandri Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Journal of Public Policy and Management Review, 5(2), 811–822. https://doi.org/10.14710/jppmr.v5i2.11265

Kadarisman, A. (2021). Government public relations dalam pengembangan pariwisata masa pandemi COVID-19 di Geopark Ciletuh. Profesi Humas, 5(2), 270–290. https://doi.org/https://doi.org/10.24198/prh.v5i2.29800

Kompas. (2019). Daya Saing Pariwisata Indonesia Masih Rendah, Bisakah Pariwisata Melonjak? https://doi.org/https://doi.org/10.14421/jsr.v14i2.1853

Musfiroh, L. (2021). Analisi Dampak Covid 19 Terhadap Pariwisata di Kabupaten Kediri (Studi Kasus Kawasan Wisata Besuki dan Wisata Simpang Lima Gumul) [IAIN Tulungagung]. http://repo.uinsatu.ac.id/id/eprint/21928

Purwanto, S. (2018). Ekowisata Sebagai Upaya Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan. Universitas Gadjah Mada. https://www.researchgate.net/publication/338559128

Rohani, E. D., & Purwoko, Y. (2020). Dampak Sosial Pariwisata Terhadap Masyarakat Desa Ekowisata Pampang Gunung Kidul Menuju Desa Ekowisata Berkelanjutan. Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(2), 237–254. https://doi.org/https://doi.org/10.14421/jsr.v14i2.1853

Yusgiantoro, P. (2014). Ekonomi pertahanan. PT Gramedia Pustaka Utama.

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Firhandika Ade Santury, Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UNDIP yang aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan Jaringan lintas iman Gusdurian. Ia suka membaca dan aktif menulis di berbagai media online. Saat ini memiliki ketertarikan menulis atau penelitian terhadap topik yang berkaitan dengan masyarakat pedesaan. Penulis dapat dihubungi pada: firhandikasantury@gmail.com.