[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 9, Juni 2022]
oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB BRIN)
Pada April 2022, Netflix mengeluarkan drama Korea (drakor) terbaru berjudul Green Mother’s Club. Drakor ini berkisah tentang para ibu muda yang berambisi dalam meningkatkan kemampuan akademis anak-anaknya. Yang menarik, anak-anak tersebut masih berada di bangku sekolah dasar. Namun, mereka sudah mengalami sistem pendidikan Korea yang sangat kompetitif.
Meskipun masih berusia muda, para siswa sekolah dasar digambarkan aktif mengikuti berbagai kursus dan kompetisi tingkat nasional. Mereka bahkan berlomba untuk diterima di sekolah khusus anak berbakat meskipun dengan seleksi masuk yang ketat. Berbagai intrik terjadi tidak hanya antara para ibu, namun juga anak-anak. Persaingan, ambisi, hingga gangguan psikologis turut mewarnai dalam perjalanan untuk menjadi nomor satu.
Fokus cerita dalam Green Mother’s Club serupa dengan drakor Sky Castle yang rilis pada tahun 2018. Dalam Sky Castle, para orangtua dari keluarga elit berambisi untuk menjaga kesuksesan keluarga dengan membuat anak-anak diterima di Fakultas Kedokteran Seoul National University (SNU). Berbagai cara dilakukan mulai dari memasukkan sang anak ke sekolah elit hingga merekrut mentor yang memiliki tingkat keberhasilan seratus persen.
Drakor satir ini merupakan gambaran umum keluarga Korea dalam upaya meningkatkan kesuksesan anak dan keluarga. Tak heran, Sky Castle menjadi drakor rating tertinggi kedua di Korea setelah The World of the Married (2020). Drakor ini juga menoreh banyak penghargaan seperti sutradara terbaik, artis terbaik, aktor pendukung terbaik, dan nominasi drama terbaik di penghargaan bergengsi Baeksang Art Award ke 55.
Obsesi terhadap Pendidikan Tinggi
Korea disebut-sebut sebagai negara dengan persaingan pendidikan tersengit di dunia. Dilansir dari YouTube Korean Unnie[1], proses pendidikan anak dimulai sejak usia empat tahun. Tidak hanya bersekolah di taman kanak-kanak, banyak anak yang sudah diikutkan berbagai les seperti bahasa Inggris. Selain menunjang masa depan, bahasa Inggris dianggap sebagai penanda kelas menengah atas yang berpendidikan tinggi dan elit.
Saat menjalani pendidikan formal di sekolah dasar dan menengah, sebagian besar siswa akan mengikuti kursus tambahan di bimbingan belajar atau hagwon 학원 hingga tengah malam. Semua itu dilakukan demi berhasil di ujian masuk universitas atau suneung 수능. Suneung dianggap sebagai ujian terpenting bagi siswa Korea karena dari situlah ditentukan universitas mana yang dapat mereka masuki.
Suneung diselenggarakan secara maraton selama delapan jam setiap bulan November. Ada lima subjek yang diuji yaitu bahasa Korea, Matematika, bahasa Inggris, Sejarah Korea, dan ilmu alam/sosial/vokasi. Selain lima subjek, ada juga peserta ujian yang memiliki ujian tambahan bahasa asing kedua seperti bahasa Mandarin, Jepang, Prancis, dan Arab.
Saking krusialnya, pemerintah Korea sampai menambah moda transportasi umum, melakukan rekayasa lalu lintas, menghentikan pekerjaan konstruksi, dan mengatur jadwal penerbangan agar tidak terbang di atas sekolah (Annique, 2021). Kantor-kantor bahkan memundurkan jam masuk kerja untuk memastikan para siswa tidak terjebak macet dan terlambat ikut ujian.
Eforia suneung juga sempat ditampilkan dalam drakor Twenty Five Twenty One (2022) saat Na Hee Do dan Moon Jin Woong akan mengikuti ujian masuk universitas. Dalam adegan tersebut, terlihat teman dan keluarga menyemangati peserta ujian dengan membentangkan spanduk, memberikan minuman, dan hadiah penyemangat.
Bagi siswa yang memiliki skor tinggi di suneung, mereka akan berkesempatan kesempatan besar untuk diterima di universitas bergengsi Korea yaitu Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Ketiga universitas ini dikenal dengan akronim SKY.
Berhasil lulus dari universitas prestisius menjadi penanda status sosial di Korea. Orang-orang yang lulus dari SKY akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan besar seperti Samsung, Hyundai, dan LG. Pentingnya nama sebuah almamater ditunjukkan dengan apik dalam film Korea pemenang Oscar berjudul Parasite (2019). Dalam adegan, Kim Ki Jung mengaku sebagai lulusan Yonsei University agar mendapatkan pekerjaan sebagai tutor seni dari keluarga Park yang kaya raya. Berbekal ijazah palsu, Ki Jung berhasil menipu keluarga Park tanpa perlu pengecekan latar belakang.
Krusialnya latar belakang pendidikan pun dinarasikan dalam Green Mother’s Club episode 10, ketika Kim Ju Seok menasehati anak-anaknya dengan berkata “Kalian harus bekerja keras jika tidak ingin diperlakukan seperti orang bodoh. Hal terpenting bagi orang Korea adalah latar belakang pendidikan. Mengerti?” Kompetisi ketat inilah yang membuat semua orang bekerja keras agar tidak tertinggal.
Ironi Sistem Pendidikan
Kelsey, seorang YouTuber dan mahasiswa Yonsei University, membagikan pengalamannya[2] saat belajar di sekolah menengah dan mempersiapkan suneung. Ia akan melakukan belajar mandiri di sekolah pada jam 7-9 pagi. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran sekolah akan berlangsung dari jam 9 hingga 5.30 sore. Setelah makan malam dan istirahat, belajar mandiri akan kembali dilakukan pada jam 7-11 malam di sekolah. Hal ini lah yang membuat rata-rata siswa di Korea kekurangan jam tidur (Yonhap News, 2020).
Selain bidang akademik, siswa di Korea juga aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler untuk meningkatkan resumenya, seperti klub Matematika dan debat. Melalui kegiatan itu, mereka juga berupaya memenangkan kompetisi bergengsi berskala nasional dan internasional.
Sistem pendidikan di Korea memang menghasilkan siswa yang pintar dan bekerja keras. Namun, tekanan yang dialami sejak usia muda pada akhirnya menimbulkan masalah sosial baru. Imbasnya, tingkat bunuh diri anak dan remaja di Korea adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) (Hong, Cho, Kim, Ju, & Kweon, 2017).
Selain anak, orangtua pun merasakan beban yang berat. Sebab, untuk memberikan kualitas pendidikan yang baik, orangtua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Untuk biaya bimbingan belajar akademik misalnya, jumlah yang harus dikeluarkan mencapai 3-5juta rupiah per bulan. Biaya akan meningkat jika anak perlu dimasukkan ke bimbingan belajar lain untuk pengembangan musik dan seni.
Drakor Green Mother’s Club pun turut menyoroti masalah tersebut dengan menampilkan upaya para orangtua dalam memenuhi biaya bimbingan belajar yang mencekik. Mulai dari melakukan kerja paruh waktu, mengurangi jatah makan, sampai menjual obat terlarang.
Ironi lain pun masih menyelimuti para pelajar di Korea. Meskipun telah berhasil memasuki universitas top di Korea, namun mereka masih dibayangi keresahan terhadap masa depan. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Asian Boss[3] terhadap para mahasiswa SNU, hampir semua berpendapat bahwa asal universitas tidak menjamin akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Apalagi saat ini kondisi ekonomi sedang menurun karena pengaruh COVID-19.
Menemukan Kebahagiaan
Proses belajar kompetitif yang dilakukan sejak usia muda tentu hanya memberikan sedikit porsi waktu bermain untuk siswa. Kurangnya kegiatan relaksasi akan berpengaruh pada kebahagian siswa. Menurut survei indeks kebahagiaan OECD pada tahun 2018 (Chung & Nam, 2019), siswa Korea memang menempati performa akademik tertinggi, namun memiliki tingkat kebahagiaan terendah di dunia.
Dalam riset tingkat kebahagiaan siswa (Jang & Park, 2021) pada tahun 2019, skor kebahagiaan orang Korea di usia 20-an hanya berada di angka 52.64 dari 100 poin. Skor kebahagiaan kelompok usia 30-an tahun bahkan lebih rendah dan berada di angka 55.23 poin. Rendahnya tingkat kebahagiaan tersebut disebabkan oleh tekanan dan stress dari masyarakat yang kompetitif, lingkungan pendidikan, dan masalah akademik.
Sistem pendidikan Korea yang diangkat dalam drakor seperti Sky Castle dan Green Mother’s Club menjadi pembuka mata bagi penonton internasional, termasuk Indonesia. Melalui fenomena sosial yang diangkat oleh drakor tersebut, kita dapat belajar untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang menyenangkan bagi siswa.
Mengikuti kegiatan olahraga pun dapat meningkatkan kebahagiaan siswa. Menurut riset (Song, Song, & Lee, 2021), ditemukan ada hubungan signifikan antara mengikuti kegiatan olahraga dengan peningkatan harga diri positif, resiliensi, dan kebahagiaan di sekolah. Selain itu, sekolah dapat menyeimbangkan antara pelajaran akademik dan nonakademik. Misalnya, mengurangi jam belajar, melatih keterampilan hidup, fokus pada pengembangan bakat, dan menyediakan lingkungan sekolah yang asri. (Editor: Dicky Rachmawan)
Referensi
Annique. (2021). 수능 – The Number 1 Most Di2cult Exam of the Year Has Arrived. Retrieved May 27, 2022, from 16 Nov 2021 website: https://www.kworldnow.com/수능-suneung-the-exam-of-the-year-for-koreans/
Chung, E., & Nam, Y.-S. (2019). Students here among the smartest , but saddest. Retrieved May 24, 2022, from https://koreajoongangdaily.joins.com/2019/12/03/socialAffairs/Students-here-among-the-smartest-but-saddest/3071032.html
Hong, M., Cho, H. N., Kim, A. R., Ju, H. H., & Kweon, Y.-S. (2017). Suicidal deaths in elementary school students in Korea. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 11(1). Retrieved from http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export&id=L618500012%0Ahttp://dx.doi.org/10.1186/s13034-017-0190-3
Jang, H., & Park, H. (2021). 덕질활동 여부에 따른 대학생의 행복감 비교 연구 A Comparative Study on Happiness between Otaku and Non-Otaku College Students. 34(2), 98–106. Retrieved from http://koreascience.or.kr/article/JAKO202126048535435.pdf
Song, H., Song, J., & Lee, S. (2021). Effects of Self-Esteem on Resilience and School Happiness of Korean Students Participating in School Sports Clubs. 34(3), 88–99. Retrieved from https://journaleet.in/articles/effects-of-self-esteem-on-resilience-and-school-happiness-of-korean-students-participating-in-school-sports-clubs
Yonhap News. (2020). S. Korean teens suffer from lack of sleep, survey finds. Retrieved May 27, 2022, from 3 August 2020 website: http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20200803000930
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Ranny Rastati adalah peneliti Komunikasi Media di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PMB – BRIN). Fokus kajiannya berupa budaya pop khususnya dari Korea dan Jepang. Ia dapat dihubungi melalui email ranny.rastati@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial
[…] sebagai negara dengan persaingan pendidikan tersengit di dunia. Dilansir dari YouTube Korean Unnie[1], proses pendidikan anak dimulai sejak usia empat tahun. Tidak hanya bersekolah di taman […]
[…] (2019). Berbekal ijazah palsu dari Yonsei Unversity dan rekomendasi saudaranya, Ki Jung mendapatkan pekerjaan sebagai guru privat seni di keluarga […]
[…] ‘Parasite’ (2019). Berbekal ijazah palsu dari Yonsei Unversity dan rekomendasi saudaranya, Ki Jung mendapatkan pekerjaan sebagai guru privat seni di keluarga […]