[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 6, Juni 2022]

Oleh Salimulloh Tegar Sanubarianto (Peneliti Linguistik Interdisipliner di OR Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional)

Bagi yang sering berkendara di jalur pantura, Anda tentu sudah kenyang dengan kutipan-kutipan asmara yang tercantum di bak truk. “Dua anak cukup, dua istri bangkrut”, “New Fear The Me is 3”, dan “Pergi dicari pulang dimarahi” adalah sedikit dari sekian banyak kutipan yang bisa anda temui. Meminjam istilah Agus “Magelangan” Mulyadi, pada bak truk terpatri ironi yang sebetulnya menyedihkan, namun terbaca menyenangkan (Mulyadi, 2019).

Pada mulanya tulisan pada bak truk adalah sebuah sandi (Kusumo, 2012). Sandi-sandi itu didedahkan oleh para sopir sebagai tanda bahwa mereka telah membayar uang keamanan pada koperasi yang menyediakan “jasa pelindungan truk dari bajing loncat”. Lambat laun, tulisan pada bak truk berkembang. Mulai muncul lukisan dan tulisan atraktif di bagian belakang truk yang ditujukan untuk menghibur pengendara lain. Sampai pada satu titik, para sopir truk menyadari bak truk mereka bisa menjadi media komunikasi. Aspirasi sopir truk terwakili seperti pada tulisan: “Piye kabare penak jamanku, tho?”.    Seperti yang dikatakan oleh Fairclough (Fairclough, 1995) bahasa adalah praktik sosial. Kemunculan bahasa sebagai sebuah tindak tutur, dapat dipastikan memiliki latar belakang sosial budaya. Tulisan pada bak truk (seperti halnya grafiti pada tembok bangunan di Amerika Serikat periode 1960-an atau jargon pekik kemerdekaan di gerbong-gerbong kereta Indonesia 1945 awal) memiliki konsep wacana yang ingin disebarluaskan.

Kreativitas para sopir truk mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Hal ini dapat diamati dari respons masyarakat yang kerap mengunggah tulisan-tulisan tersebut ke media sosial. Masyarakat kerap kali merasa terwakili dengan tulisan tersebut. Upaya duplikasi tulisan-tulisan bak truk ini kerap ditemui dalam stiker, sablon kaos, bahkan lirik lagu. Artinya, upaya komunikasi para sopir truk mampu menjangkau masyarakat di luar komunitas mereka.

Awal tahun 2020, tajuk kutipan pada bak truk memiliki tema baru. Pada periode itu angka sebaran virus Corona sedang tinggi-tingginya. Pemerintah pun menerbitkan pelabelan tiap wilayah yang masyarakat kenal dengan sebutan PPKM beserta aneka levelnya. Level-level PPKM ini menentukan mobilitas masyarakat pada dan di sekitar wilayah itu. Sebagai konsekuensi, laju mobilitas truk-truk pengangkut barang ikut dibatasi. Roda perdagangan tersendat. Truk-truk nyaris mangkrak membuat materi kutipan  bertambah terkait hal-hal seputar pandemi beserta efek ekonominya. Tulisan “Nuruti Corona Ora Nguntal” atau “Sepurane Sopir Ora Iso WFH” merupakan contoh respon para sopir atas kondisi ekonomi yang mendesak dan situasi pandemi yang tidak kunjung membaik, .

Ditarik jauh ke belakang, tentu perubahan tulisan-tulisan pada bak truk tidak muncul sekonyong-konyong. Peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi selama pandemi berlangsung membuat “budaya” para sopir itu berubah. Yang paling mengerikan dari pandemi ini adalah kemampuannya merekonstruksi laku hidup manusia sebagai homo socius. Manusia diwariskan secara genetika untuk hidup saling berinteraksi dan membentuk komunitas sosial. Salin jejak genetika inilah yang diserang habis-habisan oleh pandemi Covid-19. Alih-alih berpelukan dan bersalaman, manusia bahkan dilarang saling mendekat. Manusia, yang biasanya dengan mudah berpindah tempat, malah justru ruang geraknya dibatasi dan diawasi lewat aplikasi. Sampai di sini, sebetulnya manusia tidak kehilangan akal. Manusia menciptakan ruang-ruang maya yang memungkinkan untuk tetap saling bertegur sapa satu sama lain. Namun, mengingat manusia adalah homo socius, sehingga ruang-ruang maya yang dibangun tidak bisa menggantikan sepenuhnya pertemuan fisik. Tetap ada jarak pada ruang-ruang maya tersebut yang tidak bisa menggantikan sentuhan dan sensasi bersemuka. Lebih-lebih tidak semua orang bisa mengakses ruang maya tersebut. Untuk masuk ke sana, tetaplah dibutuhkan biaya. Dan masalah biaya adalah masalah krusial di tengah pandemi.

Masalah itu pula yang secara gamblang dapat terbaca lewat tulisan “Sepurane Sopir Ora Iso WFH”. Pandemi nyatanya semakin menebalkan kelas sosial yang selama ini ada di masyarakat. Sebagian kecil masyarakat memiliki keistimewaan tetap bisa di rumah saja tanpa perlu mengorbankan kestabilan ekonomi keluarganya. Kelompok kecil ini mampu meminimalisasi kemungkinan terpapar virus (meski tidak benar-benar steril dari virus) dan mendapatkan akses informasi dan pengobatan yang memadai. Sementara itu, sebagian besar yang lain tidak. Hal ini seperti yang diumpamakan Weber dalam teori kelas sosialnya (Giddens, 2009) bahwa semakin tinggi kelas sosial orang, semakin tinggi pula harapan hidupnya.

Para juru mudi truk kita ini tentu tidak bisa bekerja dari rumah. Bagaimana caranya memindahkan bahan makanan dari pelosok Jawa Tengah ke ibu kota, jika sopir-sopir ini hanya buka laptop dan menyalakan Wifi saja? Mereka, mau tidak mau, harus menerobos kepungan pagebluk. Demi perut mereka sekeluarga, demi perut orang-orang yang masih bisa WFH. Sopir truk harus setiap saat menghadapi risiko tertular karena distribusi logistik masyarakat ada di tangan mereka

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tulisan bak truk memiliki kekontradiktifannya. Ada ironi dibalik komedi. Dalam “Sepurane Sopir Ora Iso WFH” sendiri sebetulnya ada harapan sopir-sopir ini. Jika keadaan tak mendesak, tentu mereka dengan senang hati saja tetap di rumah. Jika harapan bertahan hidup tiap penduduk dalam pandemi tetap sama, mereka akan senang hati menuruti keputusan pemerintah. Tulisan pada bak truk ini, dengan caranya sendiri, secara filosofis berhasil menemukan titik temu dengan semangat emansipasi Habermas. Habermas (Habermas, 1973) menyuarakan bahwa ilmu (termasuk bahasa) harusnya mampu membebaskan manusia dari segala sesuatu yang bersifat dominan. Ilmu bersama filsafat harusnya membentuk sebuah praksis yang membuka struktur dominansi yang mengukung kehidupan. Bagi para sopir, bak truk mereka laksana megafon untuk berorasi. Mereka berupaya melarikan diri dari dua dominasi yang sedang mengimpit: kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah.

Sejalan dengan hal itu, tulisan pada bak truk akan senantiasa bertransformasi. Tulisan-tulisan itu adalah penanda zaman. Kita ingat dulu sempat muncul mural gambar presiden Soeharto sedang tersenyum sambil membisikkan: “Piye Kabare Penak Jamanku Tho” yang mewakili keresahan sebagian masyarakat yang membandingkan kondisi hidup di antara dua rezim pemerintahan. Lalu, muncul mural Didi Kempot yang menandai semaraknya perayaan patah hati. Saat ini, sambatan perihal Covid-lah yang menghiasi pantat-pantat truk pantura. Seperti yang sudah diuraikan panjang lebar di awal, setiap sambat pasti ada sebab-musababnya. Tulisan pada bak truk adalah produk budaya yang menjadi refleksi kondisi masyarakat kelas menengah ke bawah di kala pandemi.

Pada akhirnya, mungkin para pembuat kebijakan harus sering melakukan observasi di jalanan pantura. Tempatkanlah petugas untuk mengamati bak-bak truk karena di sanalah kondisi masyarakat digambarkan lewat mural dan grafiti. Jika di sana sudah mulai bermunculan tulisan-tulisan baru seperti: “Papa Pulang Mama Digoyang” atau “Ramah di Jalan Ganas di Ranjang”, niscaya kondisi masyarakat telah kembali seperti semula (Editor: Jalu Lintang Y.).

 

Referensi:

Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.

Giddens, A. (2009). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Depok: UI Press.

Habermas, J. (1973). Theory and Practice. Cambridge: Polity Press.

Kusumo, T. H. (2012). Analisis Semiotika Tulisan dan Gambar pada Truk di Pelabuhan Lembar. UPN Veteran Mataram.

Mulyadi, A. (2019). Pelajaran tentang Keikhlasan Asmara dari Bokong Truk. Mojok.Co. https://mojok.co/pojokan/pelajaran-tentang-keikhlasan-asmara-dari-bokong-truk/

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Salimulloh Tegar Sanubarianto adalah seorang peneliti di Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra pada Badan Riset dan Inovasi Nasional. Ia tertarik pada penelitian bertema linguistik kebudayaan dan forensik. Kini ia sedang mendalami tema linguistik korpus dan komputasional untuk melengkapi kerja riset yang selama ini telah dilakukan. Penulis dapat dihubungi melalui salimulloh@gmail.com