Home Artikel COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial

COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial

0

[Masyarakat dan Budaya: Volume 11, Nomor 17, September 2020] 

***

Oleh Muhammad Retsa Rizaldi Mujayapura (Mahasiswa Magister Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia)

Pandemi Coronavirus (COVID-19) di Indonesia telah memasuki bulan ke-6 sejak kasus pertama diumumkan oleh pemerintah pada bulan Maret lalu.  Munculnya pandemi merupakan sesuatu yang baru dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat sehingga berdampak secara luas terhadap berbagai aspek kehidupan. Beragam reaksi bermunculan di publik, baik oleh pejabat publik, akademisi, politikus, influencer, hingga warganet. Alhasil, berbagai informasi semakin riuh berseliweran di media sosial dan menyiratkan kepanikan yang sedang dihadapi. Di antara beberapa informasi yang beredar di media sosial, sebagian menggiring narasi yang mengarah pada rasa ketidakpercayaan terhadap pandemi dan tenaga kesehatan yang bekerja di garda terdepan. Narasi tersebut dikemas melalui informasi hoax, ujaran kebencian, hingga konspirasi. Istilah yang disebutkan terakhir sedang menghiasi lini-masa Twitter dan menghebohkan jagat maya.

Teori konspirasi mengenai pandemi COVID-19 dimulai dengan isu virus yang sengaja disebarkan dari sebuah laboratorium di Wuhan, Tiongkok. Konspirasi lain menyebutkan bahwa Bill Gates adalah pihak yang terlibat dalam upaya penyebaran virus untuk memproduksi vaksin sebagai ladang bisnis. Di Indonesia, konspirasi pandemi COVID-19 menjadi perbincangan ketika pernyataan-pernyataan demikian disuarakan oleh orang-orang yang memiliki popularitas tinggi dan menjadi pusat perhatian di media sosial serta media massa. Konspirasi seperti dugaan komersialisasi rapid test, hingga rekasi pengingkatan kasus dalam masa krisis banyak ditemukan di media sosial. Belum ada pihak yang mampu memverifikasi kebenaran dari pernyataan-pernyataan miring tersebut.


Kondisi krisis memang menghadirkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab, oleh karena itu, konspirasi yang menghadirkan jawaban alternatif, dapat memberikan klaim secara subjektif dan asumtif yang mudah diterima dan terdengar masuk akal sehingga, tidaklah mengherankan apabila teori konspirasi menghebohkan dan mempengaruhi publik. Teori konspirasi menawarkan cara menegosiasikan pemisah antara kehidupan sehari-hari dan struktural secara global (Johnson-Schlee, 2019). Mereka yang mempercayai teori konspirasi memandang fenomena sosial yang rumit dengan sengaja dirancang secara kolektif oleh aktor-aktor yang memiliki kuasa (Mancosu et al., 2017). Konspirasi bumi datar, pendaratan di bulan, serta tragedi 9/11 menunjukkan argumentasi yang lemah data dan menggiring narasi keterlibatan aktor-aktor elit global yang mengendalikan dunia. Argumen seperti itu juga terjadi pada teori konspirasi COVID-19 yang meragukan kebenaran pandemi ini.

Gambar. Ilustrasi ketakutan terhadap pandemi Covid-19
sumber: www.pexels.com

Mudahnya seseorang mempercayai konspirasi, juga didorong oleh kecemasan dan ketakutan individu terhadap kondisi dunia. Perasaan cemas, paranoid, dan perasaan tidak berdaya yang diekspresikan melalui teori konspirasi untuk menarik perhatian individu (Green & Douglas, 2018; Uscinski, Klofstad, & Atkinson, 2016). Disamping itu, kecemasan dan rasa tidak aman disebabkan oleh tanggapan negatif terhadap pemerintah sehingga mengarah pada asumsi konspirasi (Georgiou et al., 2020; Madalina, 2015). Kondisi pandemi yang datang secara cepat dan tiba-tiba membuat masyarakat merasa cemas dan ketakutan sehingga teori konspirasi dianggap sebagai penawar dalam menjawab keresahan yang dirasakan. Kecemasan dan ketakutan diperburuk dengan rendahnya literasi sehingga  menjadikan teori konspirasi semakin mudah dipercayai. Era post-truth saat ini juga mempersulit upaya literasi, sebab media sosial menyuguhkan informasi yang bias dan menggugah emosi publik melalui clickbait, hoax, dan misinformasi. Sehingga pengguna internet dituntut untuk memiliki pemikiran yang jernih dan analitis dalam mencerna setiap informasi.


Kepercayaan pada pandemi COVID-19 berdampak pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam menyikapi pandemi. Kepercayaan pada konspirasi menimbulkan sikap anti terhadap ilmu pengetahuan, merusak kepercayaan terhadap lembaga publik (Mancosu et al., 2017), serta mempengaruhi keputusan kesehatan individu (Brotherton et al., 2013). Dengan menggiring narasi untuk mengabaikan ilmu pengetahuan dan peran tenaga kesehatan, individu yang mempercayai konspirasi akan meremehkan ancaman COVID-19 dengan  mengabaikan imbauan lembaga pemerintah dan ahli kesehatan untuk menerapkan protokol kesehatan. Melonggarnya kewaspadaan masyarakat terhadap pandemi, hanya akan memperparah situasi. Hal ini tidak hanya akan merugikan diri sendiri, tetapi akan meningkatkan risiko penularan lebih luas kepada orang lain.

Gambar: Ilustrasi penerapan protokol kesehatan
Sumber: www.pexels.com

Pada kondisi pandemi ini, diperlukan konsep ketahanan teknosiosial untuk mengatasi krisis melalui perbaikan sistem maupun adaptasi situasi. Sistem teknososial melibatkan transformasi secara kelembagaan yang memenuhi elemen informational relations, sociomaterial structures, dan anticipatory practices (Amir & Kant, 2018). Konspirasi mengenai pandemi COVID-19, akan mengganggu ketahanan informational relations sebagai salah satu elemen dalam sistem teknososial. Padahal informasi merupakan hal penting untuk mengatasi kondisi krisis. Maka, diperlukan usaha dari masyarakat maupun pemerintah untuk mengembalikan persepsi publik terhadap pandemi. Anggapan bahwa COVID-19 hanyalah konspirasi elit global yang tidak berbahaya perlu diberikan wacana tandingan untuk tetap menjaga kewaspadaan publik terhadap pandemi. Wacana tandingan digunakan melalui argumentasi kuat dengan daya tarik yang bersifat pribadi, keyakinan moral, dan menggambarkan suara netral (Montgomery, 2017). Pendekatan yang bersifat pribadi, keyakinan moral, dan netral diharapkan mampu melakukan kontra narasi konspirasi yang bersifat subjektif, eksploitasi emosi, dan keyakinan pribadi yang sempit (Editor Ibnu Nadzir).      

Referensi

Amir, S., & Kant, V. (2018). Sociotechnical Resilience: A Preliminary Concept. Risk Analysis, 38(1), 8–16. https://doi.org/10.1111/risa.12816

Brotherton, R., French, C. C., & Pickering, A. D. (2013). Measuring belief in conspiracy theories: The generic conspiracist beliefs scale. Frontiers in Psychology, 4(MAY). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2013.00279

Georgiou, N., Delfabbro, P., & Balzan, R. (2020). COVID-19-related conspiracy beliefs and their relationship with perceived stress and pre-existing conspiracy beliefs. Personality and Individual Differences, 166(June), 110201. https://doi.org/10.1016/j.paid.2020.110201

Green, R., & Douglas, K. M. (2018). Anxious attachment and belief in conspiracy theories. Personality and Individual Differences, 125(December 2017), 30–37. https://doi.org/10.1016/j.paid.2017.12.023

Johnson-Schlee, S. (2019). Playing cards against the state: Precarious lives, conspiracy theories, and the production of ‘irrational’ subjects. Geoforum, 101(February 2018), 174–181. https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2019.02.013

Madalina, C. (2015). Globalization and the Conspiracy Theory. Procedia Economics and Finance, 23(October 2014), 677–681. https://doi.org/10.1016/s2212-5671(15)00474-8

Mancosu, M., Vassallo, S., & Vezzoni, C. (2017). Believing in Conspiracy Theories: Evidence from an Exploratory Analysis of Italian Survey Data. South European Society and Politics, 22(3), 327–344. https://doi.org/10.1080/13608746.2017.1359894

Montgomery, M. (2017). Post-truth politics? Journal of Language and Politics, 16(4), 619–639. https://doi.org/10.1075/jlp.17023.mon

Uscinski, J. E., Klofstad, C., & Atkinson, M. D. (2016). What Drives Conspiratorial Beliefs ? The Role of Informational Cues and Predispositions. Political Research Quartely, 1–5. https://doi.org/10.1177/1065912915621621

Ilustrasi: sumber: www.pexels.com

__________________________________

TENTANG PENULIS

Muhammad Retsa Rizaldi Mujayapura merupakan mahasiswa program studi Magister Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia. Penulis juga merupakan peraih beasiswa Jabar Future Leaders (JFL) 2019 dalam membiayai Pendidikan S2-nya. Penulis tertarik mengkaji topik mengenai Islam Populer, Post-Truth, serta Pendidikan Multikultural. Penulis dapat dihubungi melalui surel: retsa98@gmail.com.

NO COMMENTS

Exit mobile version