Oleh Anna Asriani (Mahasiswa Universitas Negeri Makassar)
Makassar sebagai sebuah kota metropolitan di kawasan timur Indonesia, tidak dapat dipungkiri lagi memiliki beragam kebudayaan dan multikulturalisme dalam kehidupan masyarakatnya. Keragaman tersebut sendiri tidak hanya dipandang dari berbagai bentuk seni dan budaya dari suku atau etnis tertentu yang mendiami Kota Makassar. Namun, keragaman itu juga dapat diamati secara langsung dari kuliner atau penganan tradisional, yang akhir-akhir ini cukup menarik minat para peneliti, budayawan, praktisi kuliner, dan sejarawan untuk mengkajinya.
Pada tanggal 2-4 November 2018, telah diadakan pendataan kuliner oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI) dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dalam acara yang bertemakan “Dari Dapur Rakyat ke Industri Kreatif Kuliner”. Beruntung bagi penulis karena berkesempatan menjadi salah satu peserta pendataan kuliner tersebut. Kegiatan ini bertempat di Kampung Lakkang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, dengan menggunakan pendekatan etnografi. Semua peserta kegiatan diharuskan untuk tinggal dan bermalam di rumah warga Kampung Lakkang, hidup bersama masyarakat setempat selama tiga hari. Sehingga, para peserta dapat merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat Kampung Lakkang dalam setiap aktivitas kesehariannya, seperti memasak bersama, merasakan hidup dengan sumber air tawar yang terbatas, dan menikmati cuaca panas tanpa penyejuk ruangan. Pengalaman tersebut bagi penulis secara pribadi menjadi suatu hal yang sangat baru.
Sejarah dan Masyarakat Kampung Lakkang di Makassar
Dari segi geografis, kampung Lakkang terletak di tepian delta Sungai Tallo dan dikelilingi oleh area persawahan dan empang (tambak) yang jauh dari keramaian kota. Untuk menuju ke sana, perlu menempuh perjalanan selama 30-35 menit dengan menaiki perahu kecil yang hanya bisa memuat 30-35 orang. Adapun jalur untuk menuju ke sana bisa dengan melalui Dermaga Kera-Kera di dekat Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan juga bisa dari Dermaga Tallo di daerah muara. Kampung ini dihuni sebanyak 304 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah penduduk berkisar 1.027 jiwa 2018. Data ini berdasarkan keterangan Oak Arman sebagai Kepala Kelurahan. Fasilitas yang terdapat di kampung ini ialah puskesmas, masjid, satu sekolah dasar (SD), dan satu sekolah menengah pertama (SMP). Untuk sekolah menengah atas (SMA), para remaja kampung sudah diharuskan bersekolah di luar teritori kampung, begitu juga jika ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Arman yang merupakan Kepala Kelurahan Lakkang juga menuturkan bahwa penduduk Kampung Lakkang mayoritas menganut agama Islam dan bekerja sebagai petani dan nelayan petambak di sekitar aliran Sungai Tallo. Hal itu dikemukakan ketika wawancara pada Jumat 2 November 2018 . Hal menarik yang dapat kita jumpai dari Kampung Lakkang adalah gambaran mengenai suasana Kota Makassar tempo dulu. Di sekitar lingkungan rumah warga Lakkang dikelilingi oleh banyak pepohonan nan rimbun, seperti pohon mangga, lobe-lobe (lobi-lobi), bambu, pisang, dan masih banyak lagi yang dapat ditemui pada hampir setiap pekarangan rumah warga. Hampir seluruh rumah-rumah warga yang ada di sini bergaya rumah panggung berarsitektur tradisional khas Makassar. Selain itu, berbeda dengan masyarakat di daerah perkotaan pada umumnya, masyarakat Kampung Lakkang ini dikenal sangat ramah dan santun terhadap orang-orang luar yang datang ke lingkungannya.
Dari segi historis, Kampung Lakkang ini memiliki sebuah situs sejarah yang menarik untuk dikaji, yakni bunker peninggalan Jepang. Dahulu, terdapat tujuh buah bunker Jepang, tetapi sekarang yang tersisa hanya tinggal tiga buah saja menurut pengakuan Arman. Adapun empat sisanya sudah menjadi rumah-rumah warga di atas reruntuhannya. Oleh karena itu, tiga buah yang masih tersisa kemudian dipagari agar tetap terlindungi karena situs tersebut merupakan salah satu aset wisata bagi masyarakat Kampung Lakkang dan Makassar pada umumnya. Adapun fungsi bunker itu sendiri pada masa pendudukan Jepang di Makassar tahun 1942-1945 merupakan tempat penyimpanan senjata atau ruang persembunyian bawah tanah bagi para tentara. Inilah gambaran singkat mengenai sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Kampung Lakkang pada umumnya.
Sumber foto: Istimewa
Sejarah Kuliner Tradisional di Sulawesi Selatan
Pembahasan mengenai sejarah serta sistem budaya masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan dalam praktek kuliner tradisional, maka Dr. Sarkawi B. Husain., M.A., menjelaskan bahwa pada dasarnya budaya kuliner masyarakat etnis Makassar dan Bugis ialah berbasis kepada aspek maritim dan agraris (Christian Perlas, 2006: 3-4). Terlepas dari dua hal di atas, aspek migrasi juga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan, penyebaran, dan percampuran antara kuliner khas masyarakat Bugis dan Makassar.
Dalam hal makanan, hidangan, dan masakan, nasi (nanre dalam bahasa Bugis dan kanre dalam bahasa Makassar) menjadi makanan pokok masyarakat Bugis dan Makassar yang dihidangkan dua atau tiga kali sehari. Untuk sarapan, hidangan utama biasanya ialah nasi ketan (Sokko’/Bugis atau Songkolo/Makassar) yang direbus dengan kuah santan. Sarapan biasa juga menggunakan singkong (Lame Aju/Bugis atau Lame Kayu/Makassar) yang direbus dan dihidangkan bersama ikan (yang diasinkan, diasapi, atau dikeringkan).
Juku’ Unti-unti (Ikan Unti-unti)
Suber foto: Istimewa
Kuliner tradisional tersebut dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, dari raja, bangsawan hingga rakyat jelata. Hingga beberapa waktu berselang, proses memasak hanya memakai alat dan teknik masak yang relatif sederhana, menggunakan tungku perapian sederhana. Selain makanan utama (nasi dan lauk-pauk), kuliner khas Bugis dan Makassar juga mengenal berbagai jenis kue tradisional, yang dapat dijumpai sehari-hari maupun dalam berbagai acara/pesta (pernikahan, khitanan, dan lain-lain). Kue-kue tradisional tersebut, seperti Cucuru’ Bayao, Bannang-bannang (Makassar) atau Nennu-nennu (Bugis), Ajoa, Sikaporo’, Bolu-bolu, Baruasa’, Kulapisi’, dan lain sebagainya. Sejak masuknya Islam, sejumlah makanan yang menggunakan campuran darah binatang tidak dikonsumsi lagi. Salah satu jenis makanan yang diharamkan adalah makanan favorit bagi para pemburu, yakni Lawara’ Dara (Makassar) atau Lawa’ Dara (Bugis). Meski begitu, bahan lainnya dapat diolah menjadi Lawara’/Lawa’ seperti udang, cumi-cumi, berbagai jenis ikan, rumput laut tertentu, jantung pisang, dan lain-lain.
Migrasi orang Bugis dan Makassar ke berbagai daerah di wilayah Indonesia maupun luar negeri, turut mempengaruhi perkembangan kuliner tradisional mereka di tempat hidup yang baru (Makmur Haji Harun, 2013: 2-25). Kuliner menjadi salah satu ciri khas penting dan dapat menandakan dengan mudah identitas orang-orang Bugis dan Makassar di daerah perantauan. Hal ini misalnya sangat nampak di Semenanjung Melayu (Malaysia). Walaupun telah mengadopsi berbagai macam jenis makanan khas Melayu, orang-orang Bugis dan Makassar di sana tetap mempertahankan makanan mereka seperti Manu’nasu To Riolo, Nasu Bale, Bingka, Barongko, dan minuman Sara’ba’/Sarabba’ (Makmur Haji Harun, 2013: 2-25). Bahkan, beberapa kuliner khas ini juga populer sebagai oleh-oleh khas dari daerah tertentu, seperti Bingka di Kota Balikpapan (Kalimantan Timur). Ada juga yang mengalami percampuran maupun pergantian nama, seperti Bakpao (Cina/Tionghoa), Pawa (Makassar), dan Biapong (Bugis-Tolitoli/Sulawesi Tengah). Untuk jajanan pasar, akan dijumpai sejumlah makanan tradisional, seperti gogos, telur rebus, jalangkote, burasa, ketupat, dan masih banyak lagi. Umumnya, penganan tersebut dapat dijumpai dengan mudah di setiap sudut pasar dengan harga yang cukup terjangkau bisa dibilang sangat murah.
Kuliner Tradisional Khas Kampung Lakkang di Makassar
Kuliner tradisional yang terdapat di Kampung Lakkang merupakan bentuk alkuturasi masakan khas Makassar dari daerah Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, serta dari Kota Makassar sendiri (wilayah Tallo). Menurut Ibu Mardiana, salah seorang warga Kampung Lakkang mengatakan bahwa warga di kampung ini ada yang berasal dari Maros atau Pangkep. Beliau sendiri berasal dari Pangkep yang menikah dengan warga setempat. Suaminya berprofesi sebagai nelayan di Sungai Tallo. Menurutnya, hampir setiap hari ia dan keluarganya mengonsumsi ikan bolu atau bandeng, udang, dan kepiting besar yang diperoleh dari tambak ikan di tepian Sungai Tallo. Karena kondisi alamnya tersebut, selama kegiatan pendataan, kami memperoleh fakta bahwa mayoritas masakan tradisional di bsana berbahan dasar dari ikan-ikan air tawar.
Menu kuliner khas dari Kampung Lakkang sendiri yang paling dikenal ialah Juku’ Unti-unti (Ikan Unti-unti), yaitu ikan yang dimasak kuah berempah dengan bungkusan kulit pisang. Berikutnya ialah Juku’ Kambu (Ikan Kambu). Makanan ini sejatinya adalah masakan tradisional khas daerah Pangkep yang dapat pula dijumpai dengan mudah di Kampung Lakkang, Makassar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kuliner tradisional yang terdapat di kampung ini merupakan alkulturasi dari masakan khas Pangkep dan Maros serta daerah etnis Makassar lainnya di Sulawesi Selatan. Makanan ini sendiri sejatinya ialah masakan tradisional khas masyarakat etnis Makassar yang berdiam di daerah pesisir pantai Pangkep dan sekitarnya. Selain itu, tambang ikan bolu atau bandeng yang sangat mudah dijumpai di wilayah pinggiran Kampung Lakkang. Masyarakat menjadikan ikan ini sering dikomsumsi oleh masyarakat setempat. Juku’ Kambu ini merupakan ikan bandeng yang telah diolah dengan berbagai rempah, ikan telah dipisahkan dari kulit dan tulangnya lalu dihaluskan dan dimasukkan kembali ke dalam kulitnya kemudian digoreng hingga coklat keemasan. Rasanya sendiri sungguh luar biasa gurih serta sangat pas untuk dinikmati dengan sambal/cobek-cobek terasi dan nasi hangat. Untuk lauk sayur dan sambalnya, sayur labu kuning kuah santan dan raca taipa atau Sambal Mangga menjadi menu andalan masyarakat di sana. Hal tersebut tentunya sangat menyenangkan dan mengenyangkan bagi setiap orang yang menikmatinya, terlebih dengan latar belakang nuansa pedesaan yang menenangkan, jauh dari hiruk pikuk keramaian masyarakat perkotaan. Untuk sarapan pagi, biasanya ibu-ibu di kampung ini akan menyediakan kue Burangasa’ sebagai pengganjal perut atau cemilan. Makanan ini sangat enak disajikan dengan secangkir teh hangat di pagi hari.
Kegiatan Pendataan Kuliner Tradisional di sekitar Kampung Lakkang
Untuk mengenal kuliner tradisional yang ada di Kampung Lakkang, kami memutuskan untuk segera mengadakan kegiatan pendataan. Namun, seharian mengelilingi kampung untuk observasi, para peserta tidak menemukan makanan tradisional yang dimaksud. Hal tersebut karena hanya pada saat hari-hari tertentu saja, seperti hari raya keagamaan atau peringatan hajatan warga, baru makanan itu dibuat dan disajikan. Meskipun begitu, oleh warga kampung, para peserta disarankan untuk mengunjungi Pasar Panampu yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampung. Karena biasanya kuliner-kuliner tradisional dijajakan di tempat tersebut. Setelah memperoleh informasi dari warga, diputuskanlah untuk mengunjungi Kampung Lakkang keesokan harinya. Setelah beristirahat semalam, para peserta lalu berkumpul di depan Masjid Kampung Lakkang pada pukul 05:45 WITA dan akan berangkat bersama-sama ke pasar. Semuanya lalu pergi ke Dermaga Mandiri Lakkang. Setelah berlayar sekitar 30-35 menit dengan perahu rakit di Sungai Tallo, akhir kami semua sampai di Dermaga Tol Reformasi. Setelah itu, kami berjalan menuju Jalan Tol Reformasi, menaiki pete-pete (angkot) lalu menuju ke Pasar Panampu.
Sesampainya di sana, semua peserta lalu berpencar untuk mengamati, mendata, sekaligus membeli jajanan tradisional pasar seperti gogoso’ (nasi ketan putih berbungkus daun pisang yang dibakar), telur rebus, telur asin, jalangkote (pastel tradisional Makassar), burasa’ (buras, nasi berbungkus daun pisang yang dimasak dengan santan), katupa’ (ketupat), dan masih banyak lagi. Sangat mengasyikkan bagi kami para peserta bisa turun langsung ke pasar tradisional untuk mengamati, melihat langsung transaksi dagang antara penjual dan pembeli walaupun Pasar Panampu tampak kotor, berbau kurang sedap, dan kumuh. Akhirnya, kegiatan pendataan kuliner tradisional ini sangat menyenangkan bagi semua peserta karena menjadi sebuah momen untuk berbagi pengalaman serta pembelajaran ke depannya. Bahwa sesungguhnya kuliner tradisional yang ada di Indonesia begitu banyak jenisnya yang harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda bangsa Indonesia. Tidak hanya itu , kuliner Indonesia memiliki cita rasa khas yang penuh dengan bermacam rempah-rempah yang sungguh lezat dan wangi aromanya serta enak untuk disantap bersama dengan orang yang terkasihi (Editor Ranny Rastati).
Referensi
Perlas Christian, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar-Forum Jakarta Paris, 2006 (hlm 3-4)
Tentang kuliner di dunia Melayu: Makmur Haji Harum, Buchari Katutu, Sitti Rachmawati Yahya, diaspora Bugis di Sumatra. Menelusuri Seni dan Budaya Bugis di Provinsi Jambi (Perak: Fakultas Bahasa dan Komunikasi, Universitas Pendidikan Sultan Idris, 2013), hlm 2-25.
Tentang Penulis
Anna Asriani adalah seorang mahasiswa yang sedang menempuh program pascasarjana di Universitas Negeri Makassar. Gelar strata satu diperoleh di S1 Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin Makassar. Selain menjadi mahasiswa pascasarsajana, juga aktif di sebuah lembaga bernama Lembaga Lingkar sebagai ketua dan menaungi sebuah majalah yang bernama Majalah Imagined History. Lembaga ini aktif dalam menyelenggarakan kegiatan yang berfokus pada kesejarahan. Selain berlembaga juga senang meneliti dan menulis, terutama tentang kuliner. Untuk korespondensi bisa menghubungi di annaasriani20@gmail.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.12.04Jurnal Masyarakat dan Budaya, Terbitkan Edisi Transformasi Sosial Budaya Artikel2020.12.02Meninjau Ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai Perjuangan Umat Islam Opini2020.12.02Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat Artikel2020.08.09Dua Belas Prinsip Pendekatan Ekosistem dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam