Oleh Ubaidillah (Peneliti PMB LIPI)

 

Romo Sindhunata menyajikan novel Puteri Cina dalam tiga fragmen cerita yang saling terpisah. Tidak ada kesinambungan masa, tokoh, alur, dan latar antarfragmen tersebut. Kesinambungan dibangun melalui kesamaan karakteristik tokoh utama, yakni perempuan Cina cantik yang berbeda status sosial dan kondisi zaman di setiap fragmen, namun memiliki kesamaan akhir cerita, menjadi pihak yang dikambinghitamkan. Dengan novel ini, seolah Romo Sindhunata hendak menyampaikan pada zaman mana pun, perempuan Cina atau bila diperluas, orang Cina, selalu bernasib sama, menjadi korban yang dipersalahkan atas prahara kekuasaan politik. Bila hendak merefleksikan novel Puteri Cina dalam sejarah Indonesia, mungkin tiga babak tersebut menjadi masa kolonial, ’65, dan ’98. 

Jalan sejarah Indonesia yang diwarnai kekerasan terhadap etnis Cina tersebut adalah bagian konteks sosio-kultural tempat generasi Z bertumbuh kembang. Generasi Z[1] (lahir 1995-2010) adalah generasi yang hidup di masa-masa menuju peristiwa ’98 sebagai anggota masyarakat pasif yang mungkin tidak tahu mengenai peristiwa itu. Sebab usia mereka masih sangat muda dan bertumpu pada narasi orang dewasa baik melalui pendidikan formal, lingkungan sosial, dan cerita di keluarga untuk mengetahui perihal peristiwa ’98.

Pengetahuan generasi Z mengenai peristiwa ‘98 dan stigmasisasi Cina yang mewarnai peristiwa tersebut  masih terbatas pada narasi orang dewasa yang disampaikan dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan. Dapat dikatakan sumber pengetahuan mereka masih terbatas. Namun usia remaja dan dewasa muda mereka diwarnai oleh disrupsi teknologi digital yang memungkinkan mereka mengakses informasi apa pun melalui internet, termasuk mengenai peristiwa ‘98 atau sejarah stigmatisasi Cina. Bagaimana narasi-narasi tersebut menjejak dalam benak generasi Z? Pertanyaan tersebut yang mengantarkan saya untuk mencoba menelusuri lebih perihal kata Cina di benak generasi Z.

Saya menyusun kuesioner daring selama satu bulan yang dimulai pada 18 Maret 2020 dengan pertanyaan kunci ‘sebutkan lima kata yang menurutmu paling menggambarkan Cina’. Kuesioner ini menanyakan tentang usia, asal suku, dan tingkat pendidikan sebagai variabel lain yang bisa ditarik korelasinya dengan lima kata yang disebutkan. Per 19 April 2020, kuesioner telah diisi oleh 240 orang yang 62%-nya orang yang berusia maksimal 24 tahun pada tahun 2020. Rentang usia di bawah 25 tahun sendiri ditentukan karena kuesioner ini dibuat pada awal tahun 2020. Artikel ini hanya akan menyajikan kata-kata yang terkumpul dari 62% responden tersebut.

Artikel ini tidak bermaksud melakukan generalisasi mengingat jumlah responden pun tidak proporsional untuk menggambarkan populasi. Temuan hanya akan terbatas pada pengajuan tinjauan awal mengenai bagaimana generasi Z menggambarkan Cina. Pertanyaan kunci ‘sebutkan lima kata yang menurut Anda paling menggambarkan Cina’ tidak memberikan penjelasan tambahan atau konteks apa pun karena dikhawatirkan akan menimbulkan bias atau mempengaruhi jawaban responden. Ketaksaan (ambiguity) antara Cina sebagai negara dan Cina sebagai salah satu etnis di Indonesia adalah salah satu faktor yang membingungkan, namun justru referensi kategoris Cina sebagai negara atau etnis ini menjadi salah data yang hendak diungkapkan lewat kuesioner ini.

Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/01/200000165/muncul-rasisme-terhadap-etnis-tionghoa-setelah-wabah-virus-corona.

 

Berpikir Kategoris

Ditinjau secara perkembangan kognitif, kata-kata yang dianggap paling menggambarkan Cina ini merupakan hasil dari sistem neokortikal (sistem pembelajaran lambat) yang meliputi keyakinan umum orang tentang dunia yang terwujud dalam memori semantik (Macrae dan Bodenhausen, 2000). Keyakinan ini terakumulasi secara bertahap melalui paparan berulang peristiwa-peristiwa di kehidupan seseorang. Bila struktur pengetahuan skematik yang dihasilkan sistem neokortikal cenderung tidak mudah untuk diubah dan dimodifikasi, hasil dari sistem hippocampus (sistem pembelajaran cepat) bersifat sementara untuk membentuk representasi peristiwa atau kebaruan yang mengejutkan agar dapat mendapat akses kesadaran memori episodik. Memori semantik adalah bagian penting bagi penggunaan manusia baik penggunaan aktif-memformulasikan ujaran maupun pasif-menginterpretasikan ujaran. Oleh karena itu, penerapan struktur pengetahuan skematik ketika seseorang memikirkan dan berinteraksi dengan orang, atau entitas kehidupan lainnya dibutuhkan untuk mencapai tujuan pemrosesan informasi (Macrae dan Bodenhausen, 2000).

Paparan informasi, peristiwa, dan segala dinamika kehidupan yang terus-menerus menuntut seseorang untuk menyederhanakan dan menstrukturisasi semua hal tersebut karena adanya keterbatasan kemampuan kognitif manusia. Hal demikian mereka capai dengan mengaktivasi dan mengimplementasi pemikiran kategoris dan menghasilkan struktur pengetahuan skematik (Macrae dan Bodenhausen, 2000). Referensi kategoris yang tersaji dalam tabel di bawah ini adalah jejak pergulatan dan pergaulan generasi Z dalam kehidupannya yang mengkristal menjadi kata-kata. Seperti yang disebutkan pula oleh Spradley (1997) masyarakat menggunakan bahasa untuk menandakan pengalamannya dalam kategori. Kata-kata tersebut memudahkan manusia untuk memikirkannya kembali relasi entitas kehidupan dengan dirinya serta mentransmisikannya ke generasi berikutnya. Kata-kata yang terkumpul dapat dievaluasi berdasarkan sentimen prasangka positif, netral, maupun negatif.

Meski pengumpulan data dilakukan dengan instrumen kuesioner, pada artikel ini data yang terkumpul dianalisis dan disajikan secara deskriptif mengingat tidak dilakukan pengukuran dengan variabel lain yang ada dalam kuesioner. Kata-kata yang terkumpul diklasifikasikan berdasarkan medan semantik (semantic field) yang dapat menggambarkan kategorisasi Cina dalam benak generasi Z. Medan semantik sendiri adalah kelompok kata yang dinaungi oleh kesamaan konseptual (Nerlich dan Clarke, 199).

Kategorisasi Kata-Kata yang paling menggambarkan Cina:

Kategori negara

Tirai Bambu, Panda, Negara Kreatif, Negara Padat Penduduk, Negara yang Mahir Teknologi, Wuhan, Asia Timur, Penemu Banyak Teknologi, Negara Berkembang, Negara Hebat Yang Menghebohkan Dunia, Cina Di Indonesia Sangat Berpengaruh Apalagi Dalam Dunia Perekonomian,

Kategori ragawi

Mata Sipit, Berkulit Putih, Cantik, Imut, Ganteng, Botak, Postur Badan Tinggi, Mancung, Rambut Agak Pirang, Badan Agak Gemuk, Rambut Lurus

Kategori sifat

Pekerja Keras, Disiplin, Loyal, Pintar Dagang, Mandiri, Ambisius, Sukses, Rajin, Pintar, Baik, Selalu Berambisi dalam Hal Bisnis, Dermawan, Keren, Sembrono, Egois, Licik, Unik, Cerdas, Menguasai, Bijak, Pandai, Pebisnis, Pelit, Perhitungan, Jenius, Lucu, Wiraswasta, Tradisional Ramah, IQ Tinggi, Bebas, Kurang Sosial, Mudah Membaur dengan Masyarakat, Jahat, Tertib, Biadab, Telaten, Ulet, Rajin Menabung, Kreatif, Gigih, Mementingkan Etnisnya Sendiri (Sukuisme), Kolot, Keras Kepala, Jujur, Kohesif, Tegas, Hemat, Cuek,

Kategori ekonomi

Berdagang, Pengusaha, Maju, Bisnis, Ekspor Murah, Xiaomi, Uang, Kaya, Mitra Kerja, Perdagangan, Elektronik, Pasar, Pusat Teknologi, Punya Toko Sepanjang Jalan,

Kategori politik

Komunis, Sosialis, Politik Perdagangan Melalui Pengalihan Isu, Diskriminasi,

Kategori agama

 

Klenteng, Kong Hu Cu, Mayoritas Non-Muslim, Nyepi, Hindu, Buddha,

Kategori budaya

 

Imlek, Angpau, Ilmu Teknologi, Pengetahuan, Tembok Besar, Cici, Koko, Ncek, Cuan, Nama Marga, Warna Merah, Mandarin, Imlek, Lampion, Cap Go Meh, Mei, Gong Xi Fat Cai, Naga, Barongsai, Bakpao, Tuntutlah Ilmu Ke Negeri China, Gaya Bahasa, Suatu Etsnis Berasal Dari Tiongkok, Drama China, Cheng Ho, Cing, Adat Minum Teh, Ramuan, Saolin, Bahasa Mandarin, Sumpit, Ramen, Sakura, Ni Hao, Shi, Bu Shi, Hao De, Xie Xie, Sio, Kwetiau, Dupa, Hechi, Kue Keranjang, Mochi, Mie Tiaw, Bakwan, Bakso, Tongseng, Jeruk Mandarin, Kecap, Bihun, Kimono, Fuji, Makan-Makanan Yang Diharamkan, Rumahnya Betanan Patung China, Game, Kurang Bisa Mengucapkan Huruf R, Niannian Youyu, Dajidali, Wanshi Ru’yi, Habiskan Semua Makanan yang Ada Di Piringmu, Orang-Orang yang Ada di China dan India Sedang Kelaparan Karena Tidak Ada Makanan (Pepatah Orang China), Bela diri, Baju Koko, Vampir, Etnis, Mie, Hokkien, Tiochiu, Imlek, Hanzi, Hanyu

 

Tabulasi dan kategorisasi kata-kata yang terkumpul tidak memperhitung frekuensi keterulangan kata. Meski ada kata-kata yang cukup sering muncul dalam jawaban responden, artikel ini tidak mendasarkan diri pada analisis korelasi keterulangan kata dengan variabel lain yang melekat dalam diri generasi Z. Sejauh kata dapat menunjukkan kategori atau tercakup dalam kategori kata-kata dapat dijadikan data. Artikel ini pun tidak didasarkan pada perspektif preskriptif, tetapi lebih mengedepankan perspektif deskriptif. Perspektif deskriptif ini membuat kata-kata seperti ramen, sakura, kimono, dan Fuji yang secara referensi material merujuk ke negara Jepang dan bukan menggambarkan Cina tetap dimasukkan sebagai data. Salah kenal demikian justru mungkin menggambarkan ekspos ciri fisik mata sipit dan kulit putih sebagai gambaran dari Cina begitu dominan dalam diri generasi Z sehingga mereka menganggap kata-kata tersebut dapat menggambarkan Cina. Selain itu pula, aspek keterbatasan bahasa Cina dan Jepang, mungkin pula Korea, membuat mereka tidak bisa membedakan, misalnya tengah menonton film Korea, Cina, atau Jepang.

Sebagaimana tergambar dalam tabel, terdapat ketimpangan konstituen antarkategori. Generasi Z lebih menggambarkan Cina dari sisi sifat dan budayanya, baik berupa upacara, bahasa, busana, atau makanan. Konstituen kedua kategori tentu pula bisa dinilai berdasarkan sentimen positif, negatif, atau netral. Namun, penggambaran yang dominan terhadap aspek tersebut dapat menandakan interaksi interpersonal dengan orang Cina (lebih merujuk kepada pengertian etnis Cina) dan dengan budaya Cina sudah semakin intensif. Aspek budaya Cina telah dipraktikkan atau dikonsumsi bersama, misalnya.

Kata-kata yang berkategori agama dan politik tergolong sama sedikitnya menjadi gambaran utama Cina. Penggambaran aspek keagamaan pun cenderung bersentimen netral, bila kita menyepakati bahwa kata non-muslim lebih netral dibanding kata kafir yang cenderung digunakan dalam diskursus politik yang menggunakan narasi keagamaan. Sementara, kata kafir sendiri tidak muncul dalam penggambaran oleh generasi Z. Kesinambungan komunisme dan sosialisme dari masa Perang Dingin hingga hinggap di benak generasi Z mungkin disebabkan eksistensi negara China yang berlandaskan asas komunisme.

 

Berpikir Kategoris Sebagai Elemen Stereotip

Jackman dan Mary (1980) menyatakan bahwa kategorisasi kelompok sosial sebagaimana dicontohkan dalam tabel adalah bentuk tindakan memperlakukan kelompok sosial tertentu seolah seorang individu. Individu dalam kelompok yang dibayangkan mesti dan pasti memiliki ciri-ciri generik suatu kelompok, bahkan ciri generik itu sendiri dapat dikatakan merupakan halusinasi. Hal demikian menjadi landasan sempurna bagi kebijakan dan praktik diskriminasi. Kebijakan pelarangan warga yang digolongkan sebagai non-pribumi, termasuk warga keturunan Cina, didasarkan ekspektasi bahwa warga keturunan pasti kaya dan dapat membeli tanah lebih dari kecukupan hidup, atau membeli tanah sebagai investasi, bukan sebagai pondasi hidup layak agar dapat membangun rumah.

Klasifikasi kategori entitas di atas pun bila dibaca secara terpisah dan independen dapat dikatakan bersifat netral karena hanya menunjukkan klasifikasi dunia. Namun, dalam penalaran manusia, relasi antarkategori adalah niscaya. Manusia tidak berpikir singular, melainkan plural. Suatu kategori entitas terkait atau saling terkait dengan kategori entitas lain dalam premis-premis penalaran. Penalaran terhadap Cina dapat terjadi dengan merelasikan beberapa kategori di atas. Misalnya, komunisme sebagai ideologi formal hanya dijalankan oleh negara Republik Rakyat China/Tiongkok. Kategori entitas negara dihubungkan dengan entitas ideologi. Disinformasi politik yang menimpa Ahok mencoba merelasikan ciri fisik kulit putih dan mata sipitnya yang menunjukkan etnisitas Ahok seolah berkaitan dengan negara China. Maka eksistensi Ahok di Indonesia sama hal dengan eksistensi negara China dalam memformalkan ideologi komunis sebagai ideologi. Terlebih jika dalam kategori ada kata yang bersentimen negatif, misal komunis seperti yang dicontohkan gambar 1. Daya persuasi untuk dipercayai dan mengungkit kemarahan atau kebencian lebih tinggi daripada yang netral.

Sumber: Tangkap Layar

 

Penelusuran skema kognitif ini sendiri dapat dikatakan untuk mengetahui potensi gambaran mengenai Cina yang dimiliki oleh generasi Z dapat dipelintir menjadi kebencian atau kemarahan terhadap etnis Cina. Pengukuran berbagai korelasi skema kognitif dengan berbagai variabel lain, seperti yang tersebut di atas mungkin dapat mengungkapkan faktor internal suatu kelompok masyarakat dapat terprovokasi melakukan kekerasan atau diskriminasi terhadap etnis Cina, seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada 2016 lalu. Peristiwa Tanjung Balai yang bermula dari konflik individual antara Meilina yang meminta pengeras suara masjid dikecilkan kemudian dipelintir menjad seorang Tionghoa yang melarang azan dan mematikan pengeras suara di media sosial telah mengekskalasi konflik yang terjadi (Komnas HAM, 2016). Kemarahan yang semula hanya tertuju kepada Meilina, berubah menjadi kemarahan terhadap etnis Tionghoa secara keseluruhan. Oleh karena itu, vihara dan klenteng menjadi sasaran amuk massa karena kedua tempat tersebut dianggap tempat ibadah etnis Cina (Editor Ibnu Wahyudi/Ranny Rastati).

[1] Rentang usia ditentukan mengikuti Mccrindle Researh Center. https://mccrindle.com.au/insights/blog/generations-defined-50-years-change-5-generations-resource

***

*) Catatan redaksi: Artikel ini mengalami penyuntingan saat Pelatihan Menulis Citizen Journalisme dengan narasumber Ibnu Wahyudi (Dosen Sastra Indonesia-Universitas Indonesia) yang diselenggarakan pada 23 April dan 4 Mei 2020. Setelah disunting oleh narasumber, editor PMB LIPI melakukan suntingan teknis sebelum artikel dipublikasikan.

 

Daftar Referensi

Jackman, Mary R. dan Mary Scheuer Senter. 1980. Images of Social Group: Categorical or Qualified?. Public Opinion Quarterly.

Komisi Nasional HAM. (2016). Keterangan Pers tentang Peristiwa Penyerangan dan Pembakaran Rumah Ibadah di Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara. Diunduh dari https://www.komnasham.go.id/index.php/siaran-pers/2016/08/11/9/keterangan-pers-peristiwa-penyerangan-dan-pembakaran-rumah-ibadah-di-kota-tanjung-balai-provinsi-sumatera-utara.html

Sindhunata. (2007). Puteri Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Spradley, James. (1997). Metode Etnografi (Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Macrae, C. Neil dan Galen V. Bodenhausen. 2000. SOCIAL COGNITION: Thinking Categorically about Others. Annual Review Psychology ,Vol. 51, hal. 93-120.

Nerlich, Brigitte dan David D. Clarke. (2000). Semantic fields and frames: Historical explorations of the interface language, action, and cognition. Journal of Pragmatics, Vol. 32, hal. 125-150.

Ilustrasi: https://www.business2community.com/branding/what-we-can-expect-from-generation-z-implications-for-branding-02169841

_____________________________________________

Tentang Penulis

Ubaidillah adalah peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, LIPI yang menekuni kajian budaya, agensi, perubahan sosial yang tercermin dalam bahasa. Secara teoretik, lebih sering menggunakan pendekatan interdisipliner antara analisis wacana, pragmatik, linguistik antropologis, linguistik kognitif, serta sosiolinguistik. Ia menyelesaikan Program S1Sastra Indonesia di Universitas Jenderal Soedirman pada 2013 dan S2 di Program Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada pada 2018. Penulis dapat dihubungi via 23ubaid@gmail.com.