[Masyarakat & Budaya, Vol. 28, No.1, 2023]

Wahyu Seto Aji, S.Hum. (Pamong Budaya Ahli Pertama pada Pemerintah Kabupaten Semarang)

Perusakan cagar budaya berupa aksi perobohan sepihak oleh pemilik lahan tanpa izin pemerintah dan melibatkan ahli cagar budaya menjadi latar belakang realitas yang dipampangkan oleh penulis. Penulis berupaya menjelaskan posisi cagar budaya di mata hukum dengan mengurai cuplikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 105 dengan Bahasa yang sederhana agar mudah dipahami pembaca. Melalui museum sekolah penulis memberi contoh bagaimana cagar budaya dimanfaatkan dengan baik sehingga memberi materi nasionalisme yang dapat disaksikan langsung oleh masyarakat. Tulisan ini dapat menjadi refleksi untuk membuka wawasan dan kesadaran kita akan cagar budaya.

Pada pertengahan Januari 2023 lalu, harian Suara Merdeka dalam artikel bertajuk “Bukan Macan Kertas” sempat mengangkat isu mengenai perusakan cagar budaya di Surakarta. Dugaan perusakaan tersebut berupa pembongkaran Pendapa Ndalem Tumenggungan peninggalan Kadipaten Mangkunegaran, perusakan pagar tembok bekas Keraton Kartasura, serta perusakan pagar Ndalem Singopuran. Ketiganya dirobohkan semena-mena oleh pemilik lahan tanpa izin pemerintah dan melibatkan ahli cagar budaya. Padahal, pemerintah daerah setempat telah memasukkan ketiga warisan budaya tersebut dalam register cagar budaya berjenis struktur dan bangunan. Pada kasus pertama, pelaku beralasan ingin membuat akses jalan untuk rumah kosnya. Sementara pada kasus kedua dan ketiga, pelaku berdalih membongkar tembok untuk membuat akses kendaraan pengangkut material dan bermaksud membangunnya kembali.

Peristiwa memilukan tersebut menambah daftar panjang mengenai perusakan cagar budaya di tanah air. Belum kering ingatan kita tentang kasus sejenis, yaitu perusakan bangunan cagar budaya SMA 17 “1” di Yogyakarta pada 2013 (Keling, 2019), perobohan “Rumah Radio Bung Tomo” di Surabaya pada 2016 (Detik, 2016), perobohan “Rumah Cantik Menteng” di Jakarta pada 2017 (Kumparan, 2017), dan baru-baru ini perobohan rumah singgah Bung Karno di Padang yang memantik atensi publik (Antara, 2023). Belajar dari kasus yang ada, kita menyimpulkan bahwa para pelaku tidak memahami pentingnya cagar budaya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 105, jelas menyatakan setiap orang dengan sengaja merusak cagar budaya dapat dipidana dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda mulai lima ratus juta rupiah hingga lima miliar rupiah.

Faktanya, sudah satu dasawarsa keberadaan regulasi itu belum optimal dalam menekan angka perusakan cagar budaya. Minimnya penyelesaian hukum dalam kasus perusakan bangunan cagar budaya kerap dianggap sebagai macan kertas. Adagium macan kertas mengandung makna ‘sesuatu yang nampak kuat, namun sejatinya lemah’. Dalam konteks hukum, semestinya Undang-Undang Cagar Budaya memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang lain.

Definisi cagar budaya diatur dalam pasal 1, ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Eksistensi cagar budaya terutama bangunan, struktur, situs, dan kawasan di kota-kota besar memang lebih banyak mendapatkan tantangan akibat melonjaknya kebutuhan atas ruang-ruang baru bagi pengembangan industri, perdagangan, dan jasa yang tidak terhindarkan. Akhirnya, sebagian cagar budaya yang bertahan dari penghancuran mengalami pergeseran nilai—selain hanya merepotkan dari segi perawatannya—bangunan itu juga dituntut produktif demi peningkatan nilai ekonomi (Syahid, 2019). Akibatnya, pemilik lahan meratakan bangunan yang dianggapnya kuno itu menjadi bangunan baru yang lebih dinamis, irit ongkos perawatan, dan pastinya menghasilkan keuntungan ekonomi. Kejadian itu kebanyakan terjadi pada bangunan cagar budaya yang dimiliki perseorangan.

Nasib baik masih berpihak pada cagar budaya yang berdiri di lahan milik pemerintah. Setidaknya, cagar budaya dipertahankan hingga mendapatkan penanganan lebih lanjut. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan, menjabarkan bahwa pelestarian bangunan cagar budaya meliputi rangkaian kegiatan yang terdiri atas persiapan, perencanaan teknis, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pembongkaran (KemenPUPR, 2015). Berdasarkan regulasi itu, dapat disimpulkan bahwa penanganan cagar budaya bukan perkara sederhana, namun pelaksanaannya membutuhkan rangkaian tahapan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif. Di sisi lain, cagar budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat tersebut menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang (Hidayat, 2022).

Dalam Undang-Undang Cagar Budaya, terdapat tiga pilar pelestarian yang mencakup pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Dalam upaya pelindungan, pemugaran menjadi tindakan antisipatif yang sering dilakukan terhadap peninggalan berstatus cagar budaya dengan kerusakan menengah dan berat. Pemugaran dimaksudkan untuk memperbaiki, memperkuat, dan mengawetkan melalui tindakan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, atau restorasi. Dalam praktiknya, gubernur atau bupati/wali kota dapat memberikan izin pemugaran setelah memperoleh kajian teknis dari Kemdikbudristek untuk memutuskan kelayakan suatu objek untuk dipugar atau tidak dipugar.

Dalam hal pelestarian cagar budaya yang holistik, negara juga bertanggung jawab untuk melakukan upaya pengembangan dan pemanfaatan dengan meningkatkan peran masyarakat (Hidayat, 2022). Pengembangan merupakan usaha untuk meningkatkan nilai, informasi, dan promosi cagar budaya serta pemanfaatannya melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan. Adapun, pemanfaatan ialah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Cagar budaya merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai sebagai bukti peradaban manusia sehingga upaya pelestarian dilakukan dengan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Indrasana, 2020). Pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang sangat signifikan dalam rangka pelestarian cagar budaya. Apalagi Undang-Undang Cagar Budaya telah menjamin keterlibatan masyarakat dalam upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Undang-Undang Cagar Budaya itu menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang memiliki keterbatasan ruang lingkup dan subjek pelestarian.

Kabupaten Semarang merupakan wilayah otonom di Provinsi Jawa Tengah yang berkaitan erat dengan perkembangan sejarah Semarang sebagai bandar besar pada abad 15. Sebelum 1906, wilayah Kabupaten Semarang mencakup seluruh daerah—termasuk yang kini disebut dengan Kota Semarang. Kebijakan pemerintah kolonial dengan mengeluarkan Staatsblad atau Lembar Negara Nomor 120 Tahun 1906 berdampak pada pembagian wilayah Semarang atas dua entitas, yaitu kota dan kabupaten (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2013).

Perkembangan Semarang yang begitu pesat sebagai pusat administrasi kolonial meninggalkan sejumlah warisan budaya berasitektur eropa yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini, diantaranya bangunan Lawang Sewu dan kawasan Kota Lama dengan Gereja Blendug sebagai monumen ikonisnya. Peninggalan kolonial tidak hanya terpusat di tengah kota (Semarang bawah), namun juga menjalar ke arah selatan (Semarang atas) yaitu Ungaran. Ungaran resmi menyandang status ibu kota Kabupaten Semarang sejak pemindahan ibu kota dilakukan dari Kota Semarang pada 1983.

Sejumlah warisan budaya berupa bangunan bergaya kolonial berdiri di sepanjang jalan protokol Ungaran. Namun, salah satu yang mencolok karena aspek keterawatannya ialah bangunan SMP Negeri 1 Ungaran. Berdasarkan keterangan dari sejumlah sumber sejarah, bangunan bergaya akhir abad 19 itu beberapa kali mengalami pergantian fungsi akibat perubahan kebijakan, situasi, dan kondisi politik. Pada rentang 1911—1955, bangunan tersebut pernah difungsikan sebagai kweekschool (Sekolah Persiapan Guru), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/MULO (Sekolah Menengah Pertama), Veld-Politie Kantoor (Kantor dan Markas Polisi Lapangan), Kantoor van Leger den Heils (Balai Keselamatan untuk Pekerja Sosial dan Kemanusiaan), dan yang terakhir menjadi Sekolah Guru Bawah. Pada pertengahan 1955, pemerintah secara resmi menetapkan bangunan Sekolah Guru Bawah sebagai SMP Negeri 1 Ungaran (TACB Kabupaten Semarang, 2021).

Bupati Semarang—Ngesti Nugraha—menetapkan SMP Negeri 1 Ungaran sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Kabupaten pada 2021 melalui Surat Keputusan Nomor 432/0113/2021. Penetapan dilakukan setelah Bupati mendapatkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Semarang yang menilai bangunan tersebut memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, Pendidikan, dan kebudayaan. Gayung bersambut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kemudian merestorasi sekolah yang memiliki 3 bangunan mess kuno itu dalam kurun waktu enam bulan. Berdasarkan bentuk konstruksi, ketiganya memiliki kesamaan ciri seperti komponen atap limasan dengan teras keliling dan penghubung, dinding berbahan bata, kusen kayu, dan penutup lantai berupa ubin pc (polos, badak, dan bermotif). Bangunan-bangunan tersebut membentuk konfigurasi letter-U, dengan bangunan utama (Gedung A) berbentuk T.

Secara umum, bagian fasad depan Gedung A memiliki karakter arsitektural yang khas dengan dua finial di bagian atap. Sebagian gabel yang menembus tengah atap berpadu dengan isian railing motif geometri dan kanopi lengkung di tengah. Bagian interior memiliki dekorasi raya pada bagian plafon, dinding, hingga penutup lantai. Teras bangunan disangga pilar-pilar pendek dengan busur lengkung dan sebagiannya berupa kolom-kolom kayu. Komponen pintu dan jendela relatif otentik era kolonial dengan model kupu-kupu ganda dan berkaca panil. Sementara itu, komponen Gedung B dan C tidak jauh berbeda dengan Gedung A, hanya saja tipologinya menyerupai kepala dan ekor kecebong.

Museum Sekolah

Sebelum pemugaran, bangunan yang menghabiskan dana sebesar 114 ribu gulden saat didirikan itu digunakan sebagai sarana penunjang selayaknya sekolah pada umumnya. Gedung A berfungsi sebagai ruang tamu, ruang OSIS, laboratorium, dan ruang rapat. Gedung B berfungsi sebagai gudang, sementara Gedung C digunakan sebagai ruang kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan. Status cagar budaya yang melekat pada bangunan, mendorong pihak sekolah untuk memanfaatkan bangunan lebih dari sekadar sarana penunjang.

Gagasan untuk mewujudkan museum sekolah terinspirasi setelah pemugaran selesai. Museum itu memang bukan museum sekolah pertama di Indonesia. Jauh sebelumnya, museum serupa telah dibangun di Slawi. Museum sekolah di Slawi didirikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tegal pada 1980-an. Meskipun demikian, pendirian museum sekolah di SMPN 1 Ungaran yang kemudian dinamakan Museum Pendidikan itu tetaplah peristiwa kebudayaan yang menarik.

Penggunaan bangunan sebagai museum merupakan upaya pemanfaatan dan pengembangan yang menitikberatkan pada proses penggunaan cagar budaya untuk kepentingan pendidikan, yaitu sarana edukasi sejarah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum mendefinisikan museum sebagai lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Dalam rangka pendiriannya, pihak sekolah berkolaborasi dengan pihak pemerintah daerah dan penggiat cagar budaya di wilayah untuk segera melakukan pengumpulan koleksi dan membuat displai. Akhirnya, sejumlah perkakas dan peralatan antik yang mengandung nilai sejarah dan budaya bagi sekolah dikeluarkan dari gudang untuk dijadikan koleksi museum. Barang-barang yang berhasil dihimpun terdiri atas peralatan kantor, perkakas guru dan kepala sekolah, peralatan sekolah tempo dulu (seperti mesin ketik kuno), rapor siswa angkatan pertama, sepeda jengki, dan buku pembelajaran terdahulu.

Barang-barang itu kemudian ditetapkan sebagai koleksi dan dipajang dengan narasi sebagai sumber informasi. Narasi pada koleksi sangat penting karena membentuk konstruksi cerita yang menguatkan nilai sejarah. Berdasarkan keputusan bersama, museum menempati tiga ruang di Gedung A. Gedung A dipilih sebagai bangunan Museum Pendidikan dengan alasan merupakan bangunan utama dan berkarakter ikonis. Ruangan sayap kanan diperuntukkan bagi koleksi peninggalan guru yang pernah digunakan dalam kegiatan pendidikan. Ruangan sayap kiri menyimpan berbagai koleksi berupa peranti yang pernah digunakan siswa. Sementara itu, ruangan tengah berfungsi sebagai lobi museum dan ruangan belakang sebagai ruang rapat utama.

Kebijakan pendirian Museum Pendidikan oleh pihak sekolah merupakan wujud inovasi dan invensi di dunia pendidikan. Kehadirannya tidak hanya digunakan sebagai media konservasi dan preservasi warisan masa lalu, namun juga berperan sebagai sarana transfer pengetahuan antar generasi dalam konteks penguatan “Merdeka Belajar”. Merdeka Belajar merupakan program yang diprakarsai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan tujuan untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya sumber daya manusia unggul Indonesia yang memiliki Profil Pelajar Pancasila (Kemdikbudristek, 2022). Dengan demikian, keberadaan Museum Pendidikan pada SMP Negeri 1 Ungaran sangat relevan sebagai katalisator internalisasi nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila.

Nilai-nilai Pancasila memiliki enam ciri utama yang terdiri atas 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) berkebinekaan global, 3) bergotong-royong, 4) mandiri, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif. Museum menjadi sarana penanaman nilai bagi siswa karena dapat memberikan pembelajaran dan pengalaman batin tentang proses perjalanan suatu peradaban, keanekaragaman, dan kreativitas suatu bangsa. Hal itu tentu membantu proses internalisasi nilai Profil Pelajar Pancasila dalam tataran praktis dan filosofis, sehingga menjadi formula yang mengakselerasi pembentukan karakter pancasilais.

Bangunan cagar budaya merupakan living monument (monument yang hidup), maka dapat dibuktikan jika cagar budaya bukanlah benda mati yang teronggok menunggu kehancuran. Selayaknya arsip yang menyimpan informasi penting, maka kehilangan satu cagar budaya sama saja kehilangan kekayaan intelektual yang sarat akan pengetahuan, gagasan, ide, sejarah, bahkan potensi ekonomi untuk dikembangkan demi kepentingan umat manusia yang lebih luas.

(Sumber: Setda Kab. Semarang)

(Sumber: Setda Kab. Semarang)

 

Referensi

Bukan Macan Kertas. 2023 (25 Januari). Suara Merdeka.

Kemdikbudristek. “Program Merdeka Belajar”. 2022. http://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/merdeka-belajar. Diakses pada 24 Januari 2023, pukul 9.57 WIB.

Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Semarang. 2021. Deskripsi Objek Gedung SMP Negeri 1 Ungaran. Ungaran: 2021

Wahyu Indrasana. “Analogi dalam Pemugaran Cagar Budaya”. Jurnal Widya Prabha IX, No. 9 (2020):21.

Gendro Keling. “Penegakan Hukum Cagar Budaya di Indonesia: Studi Kasus SMA 17 “1” Yogyakarta. Jurnal Kebudayaan, Volume 14, Nomor 1, Agustus 2019.

Mushab Abdu Asy Syahid. 2019. “Geliat-Geliat Pelestarian Cagar Budaya”. Buletin Cagar Budaya. Vol VII No. 1/2019.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sekretariat Negara. Jakarta

Kabupaten Semarang. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2013 tentang Hari Jadi Kabupaten Semarang. Sekretariat Daerah. Ungaran.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Buku 2 Petunjuk Teknis Bangunan Gedung Cagar Budaya. https://pustaka.pu.go.id/storage/biblio/file/buku-ii-juknis-bgcb-pemeliharaan-pemugaran-pengembangan-pemanfaatan-pembongkaranj-petunjuk-teknis-penyelenggaraan-bangunan-gedung-cagar-budaya-yang-dilestarikan-89797.pdf. Diakses pada 1 Maret 2023, pukul 19.26 WIB.

Teguh Hidayat. Pelestarian Cagar Budaya di Daerah Otonom. 2022. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/pelestarian-cagar-budaya-di-daerah-otonom/. Diakses pada 1 Maret 2023, pukul. 20.09 WIB.

Imam Wahyudiyanta. “Pemkot Surabaya Dianggap Lalai dalam Kasus Robohnya Rumah Radio Bung Tomo”. 2016. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3203034/pemkot-surabaya-dianggap-lalai-dalam-kasus-robohnya-rumah-radio-bung-tomo. Diakses pada 1 Maret 2023, pukul 20.56 WIB.

“Kronologi Rumah Cantik Menteng: Dibuat Syuting, Dijual, Lalu Dibongkar”. 2017. https://kumparan.com/kumparannews/kronologi-rumah-cantik-menteng-dibuat-syuting-dijual-lalu-dibongkar/full. Diakses pada 1 Maret 2023, pukul 21.04 WIB.

Mario Sofia Nasution. “Tak Tahu Bangunan Miliknya Merupakan Cagar Budaya, Pemilik Rumah Singgah Bung Karno Minta Maaf”. 2023. https://sumbar.antaranews.com/berita/556191/tak-tahu-bangunan-miliknya-merupakan-cagar-budaya-pemilik-rumah-singgah-bung-karno-minta-maaf?. Diakses pada 1 Maret 2023, pukul 21.11 WIB.

 


*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN.


 

Tentang Penulis

Wahyu Seto Aji merupakan Pamong Budaya Ahli Pertama pada Pemerintah Kabupaten Semarang. Ia mengawali karir sebagai jurnalis televisi yang berbasis di Jakarta, setelah meraih gelar Sarjana Humaniora dari Program Studi Jawa Universitas Indonesia pada 2014. Saat ini, Seto merupakan kandidat Pengajar BIPA utusan Badan Bahasa Kemdikbudristek untuk penugasan luar negeri. Seto berminat pada isu sosial-budaya, pendidikan, lingkungan, dan kebijakan publik. Kontak wahyusetoaji@gmail.com.