[Masyarakat dan Budaya, Volume 13, Nomor 3, Februari 2021]

Oleh Diyah Wara Restiyati (Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jakarta)

Suara burung hantu terdengar di malam hari ini ketika saya sedang berada di dusun Kerugmunggang, satu dusun di pegunungan Menoreh, di bagian selatan Candi Borobudur pada tahun 2019. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan etnoornitologi. Etnoornitologi merupakan pendekatan yang relatif baru, dari kata ‘etno’ (artinya penduduk atau etnis), dan ‘ornitologi’ (artinya ilmu yang mempelajari burung). Pendekatan ini menekankan pada upaya peneliti untuk mengkaji dan memahami pandangan penduduk lokal mengenai aspek burung dan lingkungannya (Iskandar, 2017).

Suara burung terdengar seperti suara Serak Jawa/Tyto alba javanica, burung hantu dengan kekhasan pada wajah berbentuk seperti hati dan warna bulu putih sehingga sering dianggap sebagai ‘hantu’ oleh masyarakat lokal. Di daerah Jawa Barat, Serak Jawa dikenal dengan sebutan Bueuk atau Koreak mampu berfungsi sebagai pengendali hama tikus di persawahan (Partasasmita, Ruhyat, 2015) dan di Dusun Kerugmunggang disebut dengan Manuk Tunggak (Manuk berarti burung dalam bahasa Jawa) atau Kreak. Menurut Reza[1] (40 tahun, komunitas raptor), Serak Jawa berperan sebagai pengendali hama tikus secara alami. Namun, burung hantu ini mulai diburu besar-besaran sejak adanya sebuah film berjudul Harry Potter and The Philosopher’s Stone (2001) yang menceritakan anak penyihir bernama Harry dan memiliki peliharaan burung hantu spesies Tyto alba.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis di dusun Kerugmunggang, Serak Jawa terlihat di pepohonan dekat pemukiman masyarakat. Namun, menurut Adi[2] (48 tahun, guru sekolah dasar), Serak Jawa sempat terlihat berada di pagar bangunan sekolah, tapi sudah tidak terlihat lagi sejak tahun 2014. Wawancara lain dengan warga senior, Amal[3] (70 tahun, petani cengkeh), sepuluh tahun lalu masih ada lebih dari satu ekor Serak Jawa, tapi dalam lima tahun belakangan hanya terlihat satu. Lebih lanjut, menurut Amal kemungkinan Serak Jawa lainnya sudah dijual di daerah wisata Borobudur.

Penjualan memang makin marak terjadi dalam lima tahun terakhir.  Berdasarkan penuturan Ali[4] (43 tahun,  pemelihara hewan eksotis) minat untuk memelihara dan memiliki Serak Jawa meningkat pada lima tahun belakangan. Indikasi lain pun terlihat dengan semakin banyaknya pemeliharan hewan di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta yang memamerkan Serak Jawa di media sosial.

Ali menyatakan bahwa ia tidak berminat untuk ikut memburu dan memelihara burung hantu karena biaya pemeliharaan yang mahal. Selain itu, ada mitos yang berkembang di dusun bahwa burung hantu merupakan hewan yang identik dengan sihir dan hal gaib. Mitos mengenai burung hantu juga diperkuat oleh pernyataan Amal yang mengatakan bahwa manuk tunggak sering terlihat di area pemakaman dusun yang dikenal keramat. Hal ini kemudian membuat warga dusun tidak berani memburu, memelihara, dan memperdagangkan burung hantu.

Menurut Amal dan Adi, setidaknya ada dua spesies burung hantu lain masih bisa dilihat pada 2014. Burung hantu itu bertubuh besar, berwarna putih dengan bintik cokelat, dan ukurannya lebih besar. Berbeda dengan Serak Jawa yang bertubuh kecil, berwarna cokelat, dan bermata hitam dengan lingkaran kuning. Dari gambar burung hantu yang ditunjukkan kepada Amal dan Adi, dua spesies tersebut diidentifikasikan sebagai Bubo sumatranus/Barred Eagle Owl dan Otus lempijii/Sunda Scops Owl. Lebih lanjut, menurut Ali dan Amal, burung hantu besar sudah tidak terlihat dalam lima tahun ini karena diburu oleh orang luar dusun.

Langkanya burung hantu akibat perburuan juga diperkuat oleh Asih[5] (39 tahun, ibu rumahtangga). Menurut Asih, tiga tahun lalu ia masih melihat bayangan burung hantu terbang di sekitar rumahnya. Suara burung hantu yang keras pun masih membuatnya takut untuk keluar pada malam hari. Namun sejak 2014, Asih tidak lagi mendengar suara burung hantu setelah melihat beberapa orang anak muda dari luar dusun yang datang membawa jerat dan senapan untuk berburu burung. Asih menduga para pemburu itu turut memburu burung hantu. Senada dengan Asih, Yuni[6] (37 tahun, ibu rumahtangga) juga sudah tidak pernah terlihat di pohon kelapa sejak tahun 2014  Padahal sebelumnya ia sering melihat burung hantu Otus lempijii/Sunda Scops Owl yang berwarna cokelat dan berukuran kecil di pohon kelapa dan bambu halaman belakang rumah.

Berdasarkan wawancara dan pengamatan yang dilakukan penulis, secara umum penduduk dusun tidak mengetahui nama spesies burung hantu. Mereka biasanya menggunakan nama lokal. Para penduduk pun tidak memburu, menangkap, mengambil, dan memperjualbelikan burung hantu karena takut akan mitos burung hantu yang identik dengan sihir dan hal gaib. Mitos menyatakan bahwa burung hantu memiliki kemampuan untuk menebarkan sihir dan hal gaib ini sudah berlangsung secara turun temurun dan masih dipercaya hingga sekarang. Kepercayaan ini membuat burung hantu dapat hidup aman dan bebas di alam.

Ironisnya, penduduk mengetahui bahwa orang luar dusun datang memburu burung hantu, namun penduduk tidak melarang perburuan tersebut. Hal ini karena penduduk dusun merasa tidak perlu mengusik burung hantu, meskipun hanya untuk melarang perburuan burung hantu. Penduduk dusun pada dasarnya tidak ingin terlibat dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan burung hantu atau akan hal buruk akan menimpa mereka dan dusun mereka. Penduduk dusun percaya bahwa para pemburu akan mengalami hal buruk sendirinya. Dari hasil wawancara penduduk juga tidak menganggap burung hantu berperan sebagai pengendali hama tikus hasil bumi dusun seperti cengkeh, kopi dan umbi-umbian. Sikap penduduk ini pada akhirnya membuat burung hantu semakin langka dan terancam punah. Padahal burung hantu sangat penting untuk menjaga ekosistem, dengan memangsa hama tikus dan serangga yang menganggu tanaman pangan seperti padi di dusun tersebut, dan sebagai indikator adanya air bersih yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari (Editor Ranny Rastati).

[1] Wawancara pada tanggal 30 Juni 2019

[2] Wawancara pada tanggal 28 Juli 2019

[3] Wawancara pada tanggal 29 Juli 2019

[4] Wawancara pada tanggal 29 Juli 2019

[5] Wawancara pada tanggal 30 Juli 2019

[6] Wawancara pada tanggal 30 Juli 2019

 

Referensi    

Ilustrasi gambar: https://starfarm.co.id/jenis-burung-hantu/

Iskandar, J. P. D. (2017). Ornitologi dan Etnoornitologi. Plantaxia.

Partasasmita, Ruhyat. (2015). Populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang burung Serak Jawa (Tyto alba javanica J.F. Gmelin 1788) di Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Kabupaten Sumedang. 1(7), 1570–1576.

_____________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

_____________________

Tentang Penulis

Diyah Wara Restiyati merupakan salah satu pengurus di Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jakarta, banyak melakukan penelitian dan penulisan di bidang pelestarian cagar budaya dan pelestarian lingkungan. Empat tahun belakangan, Diyah memusatkan perhatian pada isu pelestarian burung hantu di Indonesia, dan menjadi satu-satunya peneliti burung hantu perempuan di Indonesia.