Jakarta, Humas LIPI. Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI) kembali menyelenggarakan Forum Diskusi Budaya seri ke-19, dengan membahas Buku berjudul “Harmoni dalam Keragaman: Jejak Budaya Toleransi di Manado, Bali, dan Bekasi” secara virtual melalui Zoom Meeting pada Senin (9/8).
Ahmad Najib Burhani, Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, menyatakan penelitian yang tertuang pada buku ini yang perlu digaris bawahi adalah nilai-nilai toleransi yang mengakar kuat serta tersebar pada masyarakat. “Karena itu, penelitian ini perlu untuk dibedah, disebarluaskan dan juga ditularkan, untuk kemudian menjadi sebuah wabah positif kepada masyarakat. Sehingga, bukan hanya menjadi kejadian yang terjadi di daerah-daerah tertentu, tetapi menjadi suatu kondisi yang menasional. Seperti yang disebutkan dalam buku ini adalah, bagian pada upaya untuk pemajuan kebudayaan kita yang banyak bersandar kepada toleransi kehidupan umat beragama,” paparnya.
Sementara itu, M. N. Prabowo Setyabudi, peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, yang juga merupakan salah satu penulis buku ini mengungkapkan, buku ini lebih banyak membahas terkait toleransi tentang agama. “Isu toleransi kami angkat karena kami menyadari bahwa memang ada wacana yang cukup dominan tentang intoleransi. Seringkali publik didominasi oleh wacana-wacana intoleransi, sementara seringkali yang dilupakan adalah aspek toleransi. Sehingga, kita mengangkat topik ini sebagai penyeimbang ide, yakni penelitian berorientasi pada toleransi positif dan penting menyebarkan narasi positif tentang toleransi agama, sebagai penyeimbang ide dan wacana intoleransi, serta menyampaikan optimisme tentang toleransi itu sendiri.” ungkapnya.
Prabowo menjelaskan keadaan Puja Mandala yang merupakan tempat yang memiliki lima rumah ibadah di Bali. “Puja Mandala merupakan ikon toleransi di Bali serta menjadi referensi melihat praktik peribadatan dan rumah ibadah. Berawal dari dilema minoritas, Puja Mandala menjadi potret penerimaan mayoritas, penerimaan bersyarat, dan afirmasi pemerintah terhadap eksistensi minoritas dan hubungan permisif,” jelasnya.
Menurutnya, beberapa norma religius mewarnai ruang publik di Puja Mandala. “Etiket toleransi dan mewarnai budaya respek, sepeti kebiasaan mengucapakan selamat hari raya, ngejot atau tradisi saling berbagi makanan, menebar moral agama di ruang publik, dan lain sebagainya,” ujarnya.
“Puja Manda boleh jadi merupakan solidaritas antarkelompok minoritas dalam suatu komunitas. Namun di sisi lain, juga penerimaan kelompok mayoritas terhadap eksistensi minoritas dengan batasan-batasan tertentu. Boleh jadi, antara kondisi harmoni dan diskriminasi ada ruang negosiasi dan renegosiasi yang selalu dinamis dan tidak statis seperti yang dibayangkan,” tambahnya.
Sementara itu, tak jauh berbeda dengan keadaan toleransi di Puja Mandala, Bali, pendekatan budaya dalam merawat toleransi juga semakin nyata di Kampung Sawah Bekasi. “Kampung Sawah menjadi Miniatur Kebhinekaan Indonesia dengan beragam etnis. Ditengah kekagalan masyarakat memahami budaya dan agama, Kampung Sawah menampilkan hubungan agama dan budaya begitu cair. Budaya mencairkan sekat-sekat identitas agama. Iman dan keyakinan subjektif berhadapan dengan konteks sosial, politik, budaya, yang partikular,” pungkasnya.(sf/ ed: mtr)
_____________________
*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI
*) Ilustrasi: Shutterstock