Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB LIPI)
Saat menghadiri 16th Annual International Conference on Japanese Studies di Filipina pada Februari lalu, saya bertemu dengan Profesor Philip Seaton dari Hokkaido University (kini Tokyo University of Foreign Studies). Rupanya, ia telah mendengar tentang riset hijab cosplay yang saya lakukan dari kolega Filipina bernama Karl Ian Cheng Hua. Profesor Philip pun mengundang saya untuk menghadiri simposium terbatas bernama Transnational Contents Tourism in Europe and Asia bertempat di Tokyo University of Foreign Studies, kampus Tama-Tokyo. Lebih lanjut, ia berkata bahwa hasil simposium akan diterbitkan dalam buku yang masing-masing bab-nya ditulis oleh peserta acara tersebut. Tanpa pikir panjang, saya pun bersedia menghadiri simposium yang berlangsung pada bulan Juni.
Tanpa saya sadari, simposium ternyata berlangsung pada saat bulan Ramadhan. Jika di Indonesia durasi puasa hanya sekitar 13.5 jam, lama puasa di Jepang ternyata lebih panjang tiga jam. Untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat selama berpuasa, saya memutuskan untuk menginap di hotel yang tak jauh dari lokasi simposium. Jarak dari hotel ke kampus yang hanya 400 meter sangat memudahkan perjalanan ketika saya harus kembali ke hotel untuk melaksanakan ibadah sholat. Beruntung, meskipun Jepang sudah memasuki musim panas, selama saya berada di Tokyo cuaca hanya berkisar antara 17-22 derajat dan beberapa kali disertai hujan.

Simposium yang berlangsung selama empat hari ini dihadiri oleh 19 akademisi yang berasal dari Eropa dan Asia. Meskipun berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda, benang merah penelitian kami bermuara pada contents tourism. Saya pun jadi lebih memahami hakikat contents tourism yang merupakan pariwisata yang terinspirasi dari konten sebuah produk budaya populer seperti novel, film, anime, dan game (Seaton dan Yamamura, 2015).
Salah satu contoh kasus di Indonesia yang paling menarik adalah kepopuleran novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Berkat novel yang diangkat menjadi film ini, Kecamatan Gantong di Belitung Timur yang tadinya bukan daerah tujuan wisata kemudian menjadi salah satu destinasi wisata yang populer di Indonesia. Dengan berkunjung ke Gantong, para fans Laskar Pelangi dapat melihat dari dekat kehidupan Ikal dan kawan-kawannya. Replika SD Laskar Pelangi, Museum Kata Andrea Hirata dan Pantai Tanjung Tinggi dapat menjadi pengobat rindu bagi penonton film ketiga terlaris di Indonesia yang ditonton sebanyak 4.719.453 kali (Yulistara, CNBC Indonesia, 9 April 2018).

Dalam simposium ini, saya mempresentasikan penelitian berjudul Indonesian Cosplay Tourism. Berangkat dari interaksi dengan teman-teman cosplayer yang ketika ditanya ,“Apa impianmu?”, mayoritas menjawab ,“(Saya) ingin ke Jepang.” Namun, jumlah cosplayer Indonesia yang ber-cosplay di Jepang tidak terlalu signifikan karena kendala jarak, bahasa, dan finansial.
Meskipun demikian, festival Jepang yang diselenggarakan di Indonesia seperti Gelar Jepang UI (sejak 1994), Ennichisai (sejak 2010), dan festival lainnya, mampu memberikan nuansa seperti di Jepang. Kazeyukii, hijab cosplayer asal Bandung, berpendapat event Ennichisai yang digelar 30 Juni-1 Juni 2018 lalu, memiliki konsep acara yang bagus karena dihadiri oleh penampil yang berbakat. Namun, pengunjung yang ramai membuatnya jadi tidak dapat menikmati dekorasi ala Jepang. Meskipun demikian, venue event yang luas membuat pengunjung puas karena stand yang dihadirkan juga banyak. Dengan dekorasi ala Jepang seperti bunga Sakura, pertunjukan Yosakoi, kuliner Jepang, dan kesempatan ber-cosplay atau sekedar memakai Yukata, para penggemar budaya populer Jepang dapat merasakan atmosfir Jepang tanpa perlu jauh-jauh ke negara itu.
Yang menjadi kejutan adalah beberapa peserta simposium juga merupakan cosplayer yang aktif di berbagai event di Jepang. Dari presentasi yang saya sampaikan, salah satu peserta simposium bernama Takayoshi Yamamura berpendapat bahwa cosplay sejatinya memiliki ciri yang terlokalisasi di setiap negara. Jika cosplay di Jepang lebih fokus kepada karakter dari produk budaya pop seperti anime dan manga, maka di Eropa, cosplay memiliki definisi yang lebih luas. Hal ini terlihat dari pendapat beberapa peserta simposium yang menganggap bahwa parade Jane Austin di Inggris dapat diklasifikasikan sebagai cosplay.

Di Indonesia sendiri fenomena perluasan definisi cosplay pun semakin kental dalam beberapa tahun belakangan ketika cosplay tidak melulu soal budaya pop Jepang. Karakter-karakter dari Amerika dan Cina seperti Iron Man, Elsa, dan Kera Sakti mulai banyak ditampilkan oleh penggemar cosplay. Belakangan ini, cosplayer Indonesia bahkan mulai mengcosplaykan sesuatu yang bukan karakter budaya pop seperti Satpam dan Pak Lurah yang dicosplaykan menggunakan peci, baju batik, dan membawa map. Bahkan, ada pula yang mengcosplaykan tokoh manusia seperti Sandiaga Uno dan Indro Warkop DKI. Sesuatu yang tidak lazim ditemukan dalam cosplay di Jepang. Karakter yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari itu kemudian dimasukkan dalam kategori cosplay original.
Padahal beberapa tahun sebelumnya, cosplay original lebih mencirikan fashion ala anak muda Harajuku di Jepang. Meskipun awalnya saya merasa bahwa ini akan menjadi sebuah kebingungan dan dapat diperdebatkan, namun perkembangan yang terjadi dalam dunia cosplay tampaknya semakin melegitimasi bahwa cosplay adalah sebuah proyek kesenangan yang bersifat cair. Siapapun dapat turut merayakannya tanpa perlu dibatasi oleh aturan yang terlalu ketat dan dapat merusak kesenangan itu sendiri. (Editor Ibnu Nadzir)
Daftar Pustaka
Seaton, Philip dan Takayoshi Yamamura. 2015. Japanese Popular Culture and Contents Tourism – Introduction, Japan Forum, 27:1, 1-11, DOI: 10.1080/09555803.2014.962564
Yulistara, Arina,. “10 Film Indonesia Terlaris, Dilan Teratas di 2018”, CNBC Indonesia, 9 April 2018, https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20180409194021-33-10330/10-film-indonesia-terlaris-dilan-teratas-di-2018 (diakses 5 Juli 2018)
____________________________
Tentang Penulis
Ranny Rastati, often called Chibi, is a Researcher at Research Center for Society and Culture-Indonesian Institute of Sciences (PMB-LIPI). She received her bachelor’s in Japanese Studies at University of Indonesia and master’s in Communication Studies at University of Indonesia. Publications include popular books such Ohayou Gozaimasu (2014) and Korean celebrity: Daehan Minguk Manse (2015); articles journal on hijab cosplay (2015), cyberbullying (2016), Islamic manga (2017), media literacy (2018) and halal tourism (2018). Her research interests include cosplay, Japan and Korean pop culture, also media studies. Her current research topics are hijab cosplay as preaching Islam, cosplay as contents tourism and halal tourism that have been presented in the USA, Japan, and Southeast Asia. She also manages a nonprofit organization for social activity and voluntary service, Chibi Ranran Help Center (www.chibiranranhelpcenter.com), since 2013. Her works can be viewed via personal blog rannyrastati.wordpress.com. She can be contacted at ranny.rastati@gmail.com.
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Artikel2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah