[Masyarakat & Budaya, Vol. 27, No. 1, September 2022]
Oleh Yayuk Windarti (Mahasiswi Magister Antropologi Universitas Indonesia)
Kelompok Lembaga Dakwah Islam Indonesia (selanjutnya disebut LDII) cukup unik di mata penulis. Posisi sebagai perempuan muslim yang tidak terafiliasi dengan kelompok keagamaan mana pun tampaknya membuka peluang besar bagi penulis untuk bisa menjalankan ibadah di masjid LDII. Anggota kelompok yang dikenal sebagai jemaah LDII dengan terbuka menerima kehadiran penulis yang mana ini bersebrangan dengan stigma eksklusif yang melekat pada mereka. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak stigma negatif lain yang dialamatkan kepada kelompok LDII, seperti tidak mau bersalaman dengan orang selain anggota kelompok LDII, menajiskan orang lain, tidak mau menerima pemberian orang lain, dan sebagainya (Furqon, 2014:46).
Terlepas dari berbagai stigma di atas, jemaah LDII melakukan berbagai kegiatan kolektif yang dipusatkan pada hal-hal religius. Uniknya, ketika berpartisipasi dalam salat maupun pengajian, penulis bisa melihat komposisi beberapa kelompok keluarga yang tergabung dalam struktur jaringan kekerabatan “jemaah LDII”. Penulis melakukan observasi dan wawancara pada beberapa jemaah LDII di Desa Karangwuni, Sukoharjo, Jawa Tengah untuk mengeksplorasi fenomena tesebut.
Kedekatan relasi jemaah LDII dapat dilihat dari cara mereka menyapa dan bercengkrama selepas beribadah. Beberapa jemaah memang tinggal dekat dengan masjid. Sisanya ada yang tersebar di desa lain. Bagaimanapun juga ketika adzan berkumandang, mereka tidak menjalankan ibadah di masjid terdekat, tetapi rela berjalan maupun berkendara menuju masjid berplakat LDII. Maka, tidak heran jika jaringan kekerabatan jemaah ketika beribadah di masjid cukup mudah terbaca.
Berdasarkan hasil observasi, kebanyakan di antara jemaah LDII merupakan kerabat maupun pasangan yang memang terikat karena berasal dari lingkaran yang sama. Sekalipun ada yang menikah dengan orang di luar kelompok, jika dilihat dari kasus jemaah LDII di Desa Karangwuni, mereka turut beralih sebagai jemaah LDII. Ikatan pernikahan tersebut juga mengantarkan mereka untuk saling bekerja sama menjalankan kegiatan religius kelompok. Ini selaras dengan cara Heaton (1990) menggambarkan bagaimana pernikahan dengan keyakinan yang sama masih sering ditemukan karena adanya anggapan tentang keterhubungan antara kehidupan keluarga dan kehidupan religius.
Di sisi lain, Akbar (2021) menggambarkan prinsip kafa’ah (kesetaraan) dalam pernikahan sesama jemaah LDII. Pernikahan sesama jemaah sah-sah saja dilakukan selama tidak membawa dampak buruk pada individu maupun kelompok. Akbar bahkan sempat menyebutkan bahwa pernikahan ini mampu memperluas jaringan dalam konteks diplomatis.
Gambaran di atas menyiratkan bagaimana jaringan kekerabatan jemaah LDII terbentuk. Selain itu juga berbicara tentang dominasi praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penulis melihat bahwa dimensi kekerabatan banyak berkaitan dalam proses tersebut. Oleh karena itu, penulis pun ingin mengeksplorasi tentang bagaimana pembentukan jaringan kekerabatan pada jemaah LDII serta siginifikansinya pada kehidupan spiritual mereka? Dalam argumen penulis, jemaah LDII memanfaatkan jaringan kekerabatan mereka untuk menyempurnakan perilaku saleh. Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut, penulis akan menggunakan konsep kepentingan ideal milik Weber dan konsep jaringan oleh Jeremy Boissevain untuk menunjukkan bagaimana jemaah mentransformasikan jaringan yang luas menjadi jaringan intim demi kepentingan religius mereka.
Jaringan Kekerabatan pada Jemaah LDII
Dalam praktiknya, jemaah LDII bukan hanya mengejar kepentingan material, melainkan juga mengejar apa yang disebut Weber dalam Rudyansjah (2020) sebagai kepentingan ideal. Kepentingan ideal yang dimaksud ialah upaya manusia untuk memperoleh makna hidup dan keselamatan diri. Upaya untuk mencapai keselamatan diri ini, sekaligus sebagai upaya untuk menghindari maupun mengatasi problem of evil maupun universalitas penderitaan yang terus membayangi manusia.
Upaya ini juga disinggung oleh Geertz (1973) bahwa dalam hidup, kita selalu menghadapi masalah-masalah eksistensial. Geertz menyebutnya sebagai problem of meaning di mana ada kebingungan, rasa sakit, serta kekacauan yang berada di luar batas manusia. Ada-batas yang disebut dengan batas kapasitas analitiknya, batas kekuatan daya tahannya, dan batas-batas wawasan moral. Apabila manusia tidak bisa menghadapi batas-batas tersebut maka mereka dapat terjatuh dalam kegilaan. Di sini agama pun hadir untuk merangkul manusia dalam menghadapi batas tersebut. Jemaah LDII sadar betul akan hal ini dan bisa dilihat dari praktik keseharian mereka yang didominasi dengan nilai religius, seperti pengajian rutin, membersihkan masjid, bersedekah yang dijalankan
Jika digambarkan kembali, motivasi praktik peribadatan jemaah LDII ialah untuk berperilaku saleh dan selamat dari problem of evil maupun problem of meaning. Dalam mengatasi berbagai ketakutan dan kekacauan lainnya, mereka menyandarkan diri lewat kegiatan kolektif religius jemaah LDII. Proses mereka mewujudkan ini semakin dapat dipahami jika memperhatikan jaringan kekerabatan mereka. Maka selanjutnya penulis akan memberi gambaran bagaimana jaringan kekerabatan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Menurut Brown (1940) dalam tulisannya yang berjudul On Social Structure, manusia hidup dengan saling terhubung oleh jaringan hubungan sosial yang kompleks. Struktur sosial kekerabatan terbangun oleh jejaring hubungan antara individu satu dengan yang lain melalui hubungan silsilah. Dalam melihat jaringan kekerabatan pada jemaah LDII penulis pun banyak meminjam konsep jaringan miliki Jeremy Boissevain di mana ia mendefinisikan jaringan sosial atau pribadi sebagai rantai orang-orang yang dengannya seseorang, ego, berada dalam kontak aktual, atau dengan siapa dia dapat mengadakan kontak (Boissevain, 2011). Jaringan setiap individu bisa menjalar dan saling tumpang tindih satu sama lain. Boissevain menjelaskan bahwa jaringan ini berupa matriks sosial yang mampu mengkristalkan maupun membangun suatu kelompok.
Dalam membangun kelompok, jemaah LDII memanfaatkan jaringan untuk bisa menikah dengan jemaah yang lain. Boissevain menggambarkan ada tiga zona dalam jaringan sosial, yaitu intimate network (jaringan intim), effective network (jaringan efektif), serta extended network (jaringan luas). Dijelaskan bahwa dalam jaringan intim orang saling mengenal, saling berinteraksi, dan berhubungan dekat. Kerabat, teman dekat, maupun sahabat pun masuk dalam kategori ini. Selain itu, kategori jaringan efektif ialah kenalan, kerabat jauh, maupun temannya teman. Terakhir, jaringan luas yang mana tidak diketahui ego meskipun disadari keberadaannya. Jika dia membutuhkannya, dia dapat melakukan kontak pribadi dengan mereka melalui tautan di jaringannya (Boissevain, 2011).
Salah seorang ustaz dan seorang jemaah LDII yang penulis wawancarai, keduanya sama-sama menikah dengan jemaah LDII lain. Mereka juga memanfaatkan jaringan intim untuk mempertalikan hubungan kekerabatan. Selain didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan sosial, mereka juga mempercayai adanya qadar bahwa perkara jodoh sebenarnya sudah digariskan sebelum manusia lahir. Jika bukan qadar-nya, pernikahan yang dilangsungkan tidak dapat berlangsung lama maupun berjalan dengan tidak harmonis. Ketidakharmonisan yang mendatangkan penderitaan dan kekacauan atau tepatnya problem of evil dan problem of meaning inilah yang coba dihindari maupun diatasi oleh mereka. (editor: Hidayatullah Rabbani)
Referensi:
Akbar, Z. (2021). Kafa’ah dalam Perkawinan Warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Perspektif Sadd Al-Zariah Wahbah Az-Zuhaili (Studi Kasus Kelurahan Krampyangan Kota Pasuruan). UIN Malang.
Boissevain, J. (2011). The Place of Non-Groups in the Social Science. Man, 3(4), 542–556.
Furqon, A. (2014). Konstruksi Fiqh Majlis Taujih Wal Irsyad Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII): Studi tentang Pemikiran Hukum Majilis Taujih wal Irsyad LDII. Istiqro’: Jurnal Penelitian Islam Indonesia, 13(2), 39–68.
Heaton, T. B. (1990). Religious Group Characteristics, Endogamy, and Interfaith Marriages. Sociology Analysis, 51(4), 363–376. https://doi.org/10.2307/3711077
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Yayuk Windarti, seorang mahasiswa Pasca Sarjana kelahiran 1998 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Saat ini penulis sedang dalam proses menyelesaikan studi Magister Antropologi di Universitas Indonesia. Dalam tesis penulis banyak berbicara tentang perubahan sosial dan kekerabatan. Kontak surel: yayuk.windarti@ui.ac.id
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75” Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial