[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 12, Juli 2022]
oleh Michael H.B. Raditya (Peneliti Musik; Mahasiswa Doktoral di Faculty of Arts, The University of Melbourne)
Pada akhir tahun 2021, saya memutuskan untuk menghampiri pelbagai pentas dangdut yang digelar di Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kuantitas pentas dangdut pada tahun 2021 tidak sebanyak pentas dangdut sebelum Covid-19 tersebar pada Maret 2020 silam. Namun jika disandingkan ke dalam tahun kelam Covid-19 di Indonesia, kini geliat dangdut telah kembali muncul ditandai dengan pentas-pentas dangdut yang digelar secara resmi, dengan mengikuti protokol kesehatan. Beberapa kali saya mendatangi Panggung Alpha Bravo di Jalan Parangtritis, menyaksikan orkes melayu di bawah naungan Republik Ikhlas Manajemen. Saya juga menyaksikan panggung-panggung dari band dangdut yang diinisiasi anak muda, mulai dari OM Wawes, Pendhoza, hingga Ndarboy Genk (Raditya, 2020). Pun tidak lupa menonton langsung pentas dangdut dari HaSoe Angels pada salah satu bar di Jalan Magelang. Penampil yang saya sebut belakangan memang memiliki daya tarik visual dan interaksi pertunjukan yang luar biasa. Apalagi dengan memboyong sejumlah biduanita berparas cantik dan atraktif. Kendati demikian, Orkes Melayu dan Band dangdut juga memiliki pesonanya masing-masing, mulai dari aransemen, instrumen, hingga ciptaan lagu baru. Hal yang menarik, mereka hidup dan bertumbuh pada ekosistem yang sama. Namun, apakah mereka berbagi panggung yang sama? Bagaimana mereka berbagi dan membaginya? Lantas, bagaimana kita mengartikan perbedaan pada dangdut tersebut?
Tumbuh Bersama, Mengartikan [Ulang] Dangdut secara Bersama-sama
Orkes Melayu[i], Band Dangdut[ii], atau pun Organ Tunggal[iii] tumbuh di lokasi yang sama, Yogyakarta—dan pelbagai lokasi lainnya. Tumbuh bersama bukan frase yang sederhana untuk sebuah kelompok berbagi dengan kelompok lain. Apalagi perlu dipahami jika acap kali orientasi penampil dalam membuat orkes adalah ekonomi, walau tidak semua kelompok berorientasi atas itu. Hal ini tentu membuat bagaimana persaingan semakin berlapis, di mana persaingan tidak hanya antara mereka yang berbeda yakni Orkes Melayu, Band Dangdut, dan Organ Tunggal; melainkan juga terjadi pada mereka yang sama, semisal Orkes Melayu A dengan Orkes Melayu B, dan seterusnya.
Hal ini lantas—baik sadar atau tidak disadari—membuat mereka tersegmentasi pada lokus tertentu. Lokus tentu bukan soal lokasi, melainkan aktivitas subjek yang terhabituasi pada tempat tertentu. Hal itu yang membuat tipe penampil dangdut membentuk dan dibentuk pendengarnya. Lazimnya pendengar kerap diidentifikasi dari kelas ekonomi yang melatarinya. Sesederhana biaya masuk bar minimal Rp.50.000,- sementara biaya masuk taman hiburan rakyat Rp.10.000,-. Sudah barang tentu hal ini dianggap memengaruhi bagaimana segmentasi penonton. Pun saya mengamini jika saya jarang melihat penonton bar ikut menonton di taman hiburan rakyat, dan sebaliknya. Jika ada yang berlaku demikian, maka lazimnya mereka adalah penggemar berat, yang lumrahnya mengikuti jadwal panggung dari biduanita tertentu.
Dari penelusuran yang saya lakukan, Orkes Melayu tampil di lokasi spesifik, seperti Taman Hiburan Rakyat. Di Yogyakarta, Orkes Melayu memiliki lokasi pasti dari waktu ke waktu, semisal Purawisata, XT Square, Pasar Gabusan, hingga panggung Alpha Bravo di belakang Pyramid Yogyakarta. Selain di Taman Hiburan Rakyat, beberapa orkes juga tampil di beberapa Cafe-Cafe yang beroperasi pada malam hari. Sementara band dangdut tampil di beberapa lokasi, jika band dangdut terafiliasi sebuah lokasi (yang kerap disebut band reguler) maka niscaya tampil di Cafe dan bar; sementara untuk band dangdut macam OM Wawes, Pendhoza, Guyon Waton, Ndarboy Genk, Denny Caknan, Aftershine, dan band sejenis justru memiliki akses ke pentas seni sekolah, kampus, acara dengan sponsor, dan acara komunitas. Sedangkan Organ Tunggal lazimnya tampil di panggung hiburan warga, tetapi dengan keberadaan HaSoe[iv], Organ Tunggal turut bermain di tempat bonafid seperti Cafe, klub malam, dan bar.
Kendati demikian, segmentasi tidak hanya didasarkan hanya pada soal panggung dengan biaya tertentu, tetapi adanya perasaan terstruktur akan sesuatu yang terhimpun secara sadar dan terhubung sejak beberapa waktu silam. Sesederhana seorang individu menyukai Orkes Melayu tertentu karena mendengar musik a la Rhoma Irama yang selalu diputar oleh ayahnya; atau individu lain yang menyukai Ndarboy Genk karena memiliki latar belakang bahasa Jawa dan tengah pupus karena cinta; atau individu lainnya yang mengingat lagu dangdut karena menjadi musik kegemaran dari salah satu video TikTok yang tengah viral; dan seterusnya. Singkat kata preferensi atas dangdut tertentu terjadi karena adanya latar belakang pemahaman yang diterima seorang individu secara sadar dan terkait. Hal ini senada dengan apa yang diungkap oleh dedengkot kajian budaya, Raymond William (1958) mengenai structure of feeling. Pikiran William tersebut terinspirasi dari pemikiran Leavis.
Namun perasaan terstruktur di atas selalu tertaut pada akses individu atas material tertentu. Jika di atas dicontohkan seorang individu menyukai Orkes Melayu karena musik yang selalu diputar oleh ayahnya; atau seorang lain menyukai Ndarboy Genk karena bahasa dan kesamaan perasaan; atau bahkan seorang lainnya menyukai Organ Tunggal karena kebiasaan ketika kecil menyaksikan pentas keliling di kampung, tentu itu semua terkait dengan akses individu akan material. Lebih lanjut, hal itu terkait dengan akses kelas dan ekonomi seseorang dalam mengakses material. Hal ini tentu terkait dengan pikiran William (1958) yang terinspirasi dari pemikiran Karl Marx, di mana kelas dan ekonomi terikat pada budaya. Akses individu pada budaya tercipta individual yang didasarkan akses akan material tertentu.
Dari pemikiran Raymond William, hal ini yang selanjutnya menjadi argumen penting akan culture is ordinary, di mana structure of feeling dan akses kelas pada material menjadi landasan jika kebudayaan dimiliki, diciptakan, dan diciptakan ulang oleh individu. Lebih lanjut individu memiliki akses langsung terhadap kebudayaan, tidak berjarak jauh dan diposisikan pasif. Hal ini yang lantas dapat menerjemahkan bagaimana tipe penampil yang berbeda berada di “panggung” yang sama. Di mana Orkes Melayu, Band Dangdut, Organ Tunggal sama-sama memiliki akses yang sama dalam membentuk dangdut. Alhasil dangdut tidak hanya mengafiliasikan salah satu di antaranya, melainkan merepresentasikan ketiganya bahkan lebih. Setiap agen atau penampil memiliki daya dalam membentuk dan menampilkan dangdut.
Hal yang tidak kalah menarik, alih-alih setiap agen dan penampil membentuk pemahaman akan dangdut mereka masing-masing, mereka justru saling terkait dan terhubung. Hal ini diejawantahkan dengan sebaran lokasi yang tidak hanya dimiliki oleh satu tipe penampil saja. Singkat kata, terjadi overlap dari setiap tipe penampil dalam lokus dangdut mereka masing-masing. Tidak hanya itu, mereka mengenal satu sama lain, semisal OM Wawes yang mengenal pimpinan Republik Ikhlas Manajemen sehingga mereka dapat turut bermain di Taman Hiburan Rakyat. Begitu pun dengan Hasoe Angels yang mengenal band dangdut dengan baik dan berbagi panggung dengan mereka. Alhasil saling-silang lokus ini menjadi ejawantah bahwa dangdut begitu cair dan dimiliki serta dibentuk secara bersama-sama.
Setiap tipe penampil memang menjadi agen aktif dalam menciptakan dangdut mereka sendiri, tetapi bukan berarti mereka terpisah satu sama lain. Pada kenyataannya, mereka tetap terkait satu dengan yang lain membentuk [ulang] dangdut mereka secara bersama-sama. Alhasil dangdut bukan satu sistem dominan agen tertentu dari pusat yang kebal interupsi—yang menetapkan sistem top down—, karena pada keberlangsungannya justru tipe dangdut yang beroperasi di lapanganlah—sistem bottom up—yang terus membuat dangdut terus menjumpai penggemarnya, masyarakatnya. Namun mereka tidak berupaya mencari makna tegas dan membekukannya, melainkan mengalaminya. Hal ini laiknya yang diungkap Joseph Campbell (1991) jika, “Maybe we are not searching for the meaning of life, we are searching for the experience of feeling alive.” Dengan begitu mencari-cari makna dangdut sudah tidak lagi relevan, karena dengan mengalaminya secara bersama-sama, antara penampil dan penonton, kita akan membentuk apa itu dangdut bukan lagi hanya secara kolektif, melainkan personal (Editor: Jalu Lintang Y.A.).
Referensi
Campbell, Joseph and Bill Moyers. (1991). Power of Myth. New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group.
Raditya, Michael Haryo Bagus. (2013). “Esensi Senggakan pada Dangdut Koplo sebagai Identitas Musikal”, Tesis di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Raditya, Michael HB. (2020). OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar. Yogyakarta: Yayasan Kajian Musik Laras.
William, Raymond. (1958). “Culture is Ordinary”, dalam Culture and Society. London: The Hogarth Press.
Tentang Penulis
Michael H.B. Raditya adalah seorang peneliti dan penulis yang tertarik dengan kajian musik, performance studies, dan kajian seni-budaya. Ia adalah founder dari Dangdut Studies Center (www.dangdutstudies.com). Kini tengah menempuh studi doktoral di The University of Melbourne. Ia telah menerbitkan dua buku, yakni: Merangkai Ingatan Mencipta Peristiwa: Sejumlah Kritik Seni Pertunjukan (2018) dan OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar (2020).
[i] Orkes Melayu memiliki afiliasi yang kuat dengan sejarah dangdut—di mana cikal bakal dangdut adalah Orkes Melayu. Orkes Melayu pun dalam perkembangannya terbagi menjadi tiga, Orkes Melayu pure, all round, dan koplo (Raditya, 2013). Orkes Melayu pure adalah orkes yang membawakan lagu dangdut era Rhoma Irama hingga sebelum dangdut koplo populer, Orkes Melayu all round membawakan segala jenis lagu. Sesederhana, “dangdut ok, koplo ayo!”. Sementara Orkes Melayu koplo membawakan lagu dengan aransemen koplo. Orkes Melayu (OM) tidak mengganti nama menjadi Orkes Dangdut (OD), bahkan Orkes Dangdut Koplo (ODK), ada beberapa hal yang membuat mereka tetap menggunakan nama tersebut, yakni: (1) Pemilik Orkes yang memang berasal dari iklim Orkes Melayu. Hal ini lazimnya diikuti oleh pemusik yang juga berasal dari generasi yang sama. Ada beberapa kasus di mana terdapat anak muda yang bermain di Orkes Melayu, hal ini disinyalir karena ia merupakan generasi penerus dari Orkes Senior. (2) Asosiasi Orkes Melayu sudah terlanjur melekat pada musik dangdut. (3) Aransemen atau gaya musik yang memang terinspirasi dari Orkes Melayu tertentu.
[ii] Band dangdut muncul atas kesadaran jika kecenderungan musikal Orkes Melayu tidak lagi menggenapi eksplorasi musikal yang satu grup lakukan. Hal ini terjadi ketika Oma Irama mendirikan Soneta pada tahun 1971. Untuk Soneta, Oma tidak menggunakan terma Orkes Melayu, melainkan Grup. Soneta Grup. Hal ini dilakukan Oma untuk membedakan grupnya dengan Orkes Melayu. Pasalnya terdapat perbedaan musikal yang mencolok dari musik Rhoma Irama, salah satunya padanan musik rock pada dangdutnya. Maka band dangdut menjadi identifikasi yang digunakan untuk tawaran musikal baru. Sebagai contoh, OM Wawes, Guyon Waton, Ndarboy Genk, Pendhoza, Denny Caknan, Aftershine yang membawakan lagu ambyar. Dari barisan nama tersebut, OM Wawes saya identifikasi sebagai band karena OM di depan nama grup mereka tidak terafiliasi dengan Orkes Melayu, melainkan plesetan dari “Om”, sapaan laki-laki cukup umur (lihat Raditya, 2020). Tidak hanya mereka, band-band dangdut lain seperti Jakarta Dangdut Revolution, Koneg Band, LDR, dan band sejenis juga melakukan eksplorasi serupa.
[iii] Organ tunggal relatif sederhana dengan tidak melibatkan sebanyak pemusik pada Orkes Melayu atau Band Dangdut. Kerap kali Organ Tunggal hanya tampil dengan satu atau tiga biduanita. Hal ini dilakukan karena asumsi organ yang sudah bisa mengakomodasi bebunyian atau iringan musik lainnya. Dari percakapan saya dengan beberapa pihak pemilik orkes melayu di Jombang, Organ Tunggal ini hadir untuk menyiasati biaya jasa yang terlalu mahal dari Orkes Melayu. Bahkan beberapa Orkes Melayu turut miliki “underbow” Organ Tunggal. Dalam keberlangsungannya, Organ Tunggal dimodifikasi menjadi Organ Tunggal Plus (+). Organ Tunggal Plus merupakan Organ Tunggal dengan tambahan alat musik tertentu sesuai budget penanggap, semisal kedang atau gitar bahkan suling.
[iv] Untuk perkembangan terkini, ada pola Organ Tunggal yang lain, di mana Hadi Susanto alias HaSoe melakukannya. Dalam bermain musik, tiada yang berbeda dengan Organ Tunggal lain, tetapi yang membedakan adalah HaSoe kembali meramaikan panggung dengan para biduanita. Pada pentas yang saya lihat, terdapat sembilan biduanita yang ia tampilkan. Alih-alih setiap lagu dinyanyikan satu biduanita, HaSoe mementaskan tiga sekaligus. Di akhir “laga”, HaSoe bahkan menampilkan kesembilan biduanita di atas panggung. Tentu alasan awal Organ Tunggal, yakni menyiasati biaya jasa, tidak berlaku di HaSoe. Terlepas dari ihwal biaya, kehadiran HaSoe penting sebagai perkembangan Organ Tunggal di Indonesia.
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75” Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial