Hubungan Indonesia-Malaysia kembali memanas. Insiden penangkapan tiga orang petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh Polisi Diraja Malaysia di wilayah yang diklaim Indonesia sebagai wilayah teritorialnya, sangat mengejutkan. Bukan saja terjadi ketika Indonesia merayakan HUT 65 tahunnya, melainkan peristiwa tersebut mengoyak luka lama yang belum sembuh benar. Fakta historis tentang hubungan kedua negara yang tidak harmonis ini masih melekat kuat dalam ingatan keduanya.

Sejak ditandatanganinya perjanjian perdamaian antar kedua negara pada 11 Agustus 1966, yang menandai berakhirnya konfrontasi era presiden Soekarno, hubungan Indonesia-Malaysia memang relatif adem dalam era orde baru. Banyak kesepakatan dan kerja sama bilateral di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya ditandatangani. Apalagi sejak 8 Agustus 1967, ketika ASEAN (Association of South East Asia Nations) atau disebut juga sebagai Perbara yang merupakan singkatan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara didirikan.

Berdirinya ASEAN saat itu diprakarsai oleh lima menteri luar negeri dari wilayah Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Indonesia diwakili Adam Malik, sedangkan perwakilan Malaysia adalah Tun Abdul Razak. Namun hubungan yang terlihat mulus ini menyimpan bara yang siap membakar keduanya. Setidaknya hal tersebut tercermin dalam persoalan-persoalan tentang perebutan Pulau Sipadan-Ligitan sejak 1967, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan perebutan teritorial.

Barulah ketika reformasi bergulir di Indonesia, ketegangan tersebut semakin nyata. Diawali dengan kemenangan yang diberikan Mahkamah Internasional terhadap Malaysia dalam perebutan Sipadan Ligitan tahun 2002. Seperti diketahui, menjelang akhir pemerintahannya pada tahun 1997, Presiden Soeharto memang menyerahkan kasus perebutan Sipadan-Ligitan ini ke Mahkamah Internasional, tepat ketika krisis ekonomi melanda negeri ini. Dan berakhir dengan kekalahan. Belum hilang kekecewaan terhadap kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia dihadapkan kembali dengan klaim Malaysia atas blok Ambalat pada tahun 2005. Hubungan keduanya kembali tegang.

Kasus-kasus tentang batas wilayah memang menjadi persoalan utama dalam konflik dengan Malaysia, selain persoalan kekerasan terhadap buruh migran Indonesia di Malaysia. Pada tahun 2009 misalnya, ada 14 kasus yang berkaitan dengan persoalan wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Dan pada tahun 2010 telah terjadi kasus serupa sebanyak 11 kasus.

Minimnya Kesadaran akan “Ruang” dan Batas Wilayah

Persoalan batas wilayah yang kerap membuat Indonesia menelan kekecewaan, sebenarnya juga menegaskan, bahwa bangsa ini mengabaikan takdirnya sebagai pemilik negara kepulauan. Padahal sebagai negara kepulauan di dalamnya memiliki implikasi strategis dalam penentuan batas wilayah negara dan teritorinya.

Meledaknya kasus batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia, selain dipicu ketidaktegasan pemerintah juga mencerminkan beberapa hal. Pertama, minimnya pemahaman dan political will pemerintah serta para pemangku kepentingan tentang kesadaran ruang dan kesadaran garis batas wilayah negara. Hal itu tercermin dari berbagai implementasi kebijakan yang ada. Menjadikan laut sebagai pusat kehidupan, belum menjadi agenda penting untuk dilaksanakan.

Kedua, adanya kebijakan yang saling tumpang tindih, dan tidak menjadikan laut dan perairan kita sebagai pemersatu bangsa dan wilayah. Salah satu indikasi yang jelas adalah, mindset kita tentang pembangunan wilayah daratan yang begitu kuatnya. Sehingga memperlakukan laut sebagai wilayah darat yang mudah dibagi-bagi. Ada 13 institusi yang terlibat dalam persoalan keamanan laut ini. Padahal dengan menyandang status negara kepulauan yang demikian luas ini, Indonesia tidak lagi sekumpulan pulau tetapi lebih disebut a body of water dotted by islands, bahkan ada yang mengatakan “a maritime continent” (Wahyono, SK; 2009). Dan hal ini mempuyai konsekuensi logis yang luar biasa dalam penataan ruang hidup bangsa, secara politik, ekonomi, sosial-budaya dan keamanan wilayahnya.

Ketiga, kenyataan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut masih terus berlangsung dari tahun ke tahun. Dan cenderung meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya, namun persoalan ini belum menjadi agenda prioritas dalam implementasi kebijakan yang ada. Padahal Indonesia memiliki Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 sebagai awal perjuangan Indonesia menyatukan wilayahnya yang berhasil diakui secara internasional dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Conventions on Law of The Sea (UNCLOS)1982. Yang kita ratifikasi pada tahun 1985. Implementasi Deklarasi Juanda 1957 sesuai UNCLOS 1982.

Setelah setengah abad lebih Deklarasi Juanda, dan 25 tahun diratifikasinya UNCLOS 1982, Indonesia belum mampu menjadikan laut untuk kejayaan dan kemakmuran negara dan bangsanya. Hingga kini banyak orang Indonesia tidak menyadari arti penting Deklarasi Juanda dan UNCLOS 1982. Padahal Deklarasi tersebut memiliki konsekuensi strategis terhadap Indonesia. Seandainya kita masih memberlakukan Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939 yang hanya mengakui batas laut wilayah 3 mil di setiap pulau, maka terdapat perairan internasional yang memisahkan wilayah kedaulatan Indonesia. Kondisi ini tidak saja berpotensi ancaman terhadap keamanan wilayah Indonesia dan regulasi kelautan domestik, namun juga mempersempit pemanfaatan potensi laut bagi ekonomi nasional.

Berdasarkan kenyataan tersebut, seperti yang dikatakan oleh Prof Hasjim Djalal, Deklarasi Juanda pada hakekatnya merupakan salah satu pilar utama bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pilar pertama adalah kesatuan Kejiwaan yang dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dengan pernyataan tekad satu nusa, bangsa dan bahasa yaitu Indonesia. Pilar kedua adalah kesatuan kenegaraan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 dengan pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan pilar ketiga adalah kesatuan wilayah darat-laut-udara yang dinyatakan dalam Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.

Sayangnya, keberhasilan Indonesia dalam memperjuangkan Deklarasi Juanda ke forum internasional belum diikuti dengan langkah-langkah konstruktif membangun dunia kelautan. Deklarasi Juanda tidak lebih dari pernyataan geopolitik dan geo-ekonomi Indonesia. Di antaranya adalah, pertama, Indonesia belum serius membangun kemampuan pertahanan dan keamanan laut untuk menjaga segala kepentingan nasional di laut yang sebenarnya menjadi kepentingan vital bagi sebuah negara kepulauan.

Kedua, Pemerintah dan komponen masyarakat belum memahami dan memiliki visi bahari yang sama untuk mengelola semua potensi laut Indonesia. Bahkan berdirinya Kementrian Kelautan dan Perikanan tidak cukup untuk memalingkan perhatian mengurus laut yang kaya akan sumber daya. Lautan Indonesia juga tidak pernah sepi dari illegal fishing dan pelintasan kapal-kapal perang asing karena kita tidak memiliki Angkatan Laut dan badan penegakan hukum di laut yang kuat. Institusi yang ada terlampau banyak dan memiliki tugas dan kewenangan yang saling tumpang tindih. Justru terlalu banyaknya institusi yang mengurusi keamanan laut, menciptakan kemubaziran dalam pengamanan laut, terutama tidak adanya cetak biru keamanan laut yang integratif.

Ketiga, Sepanjang setengah abad lebih setelah Deklarasi Juanda, ekonomi maritim kita baik pelayaran, perikanan dan industri jasa maritim masih didominasi pihak luar. Demikian pula dalam memainkan geopolitik wawasan nusantara, alih-alih ikut menentukan dinamika maritim kawasan, menjaga kedaulatan wilayah perairan sendiri kita belum mampu.

Keempat, Indonesia memiliki pulau-pulau di perbatasan dan pulau terdepan yang berpotensi konflik dengan 10 negara yang berbatasan dengan perairan Indonesia dan tiga negara yang berbatasan dengan daratan. Kesemuanya memerlukan penanganan yang serius, baik kebijakan dan terutama ketegasan dalam penegakan kebijakan di lapangan.

Kelima, dan yang terpenting, adalah ketegasan pemerintah dalam menyikapi persoalan ini sesuai dengan spektrum tanggung-jawab yang melekat di dalamnya. Untuk menjalankan strategi perjuangan kedaulatan dan nasionalisme, tanggung-jawab pokok berada di tangan negara. Negara adalah negara yang responsif (responsive state). Negara yang sepenuhnya bertanggungjawab dalam penegakan kedaulatan dan nasionalisme. Negara yang sepenuhnya bertanggung-jawab dalam menjaga integritas teritorial dan berdaulat dalam mengambil keputusan. Termasuk negara yang tidak dapat membebaskan diri dari kewajiban untuk menjaga kedaulatan dan nasionalisme Indonesia.

Judul                  : Bara dalam Hubungan Indonesia-Malaysia

Sumber             : Metro TV News

Tautan Gambar: http://nurkhatami.wordpress.com/2011/04/13/mengapa-malaysia-selalu-memusuhi-indonesia/

Jenis                  : Opini

Tanggal              : 15 September 2010

Penulis               : Jaleswari Pramodhawardani