Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB LIPI)
Akhir tahun 2018, saya menerima email dari seorang professor dari University of Hawaii at Manoa (UHM) bernama John Szostak. Rupanya, beliau menghadiri presentasi saya tentang hijab cosplay di the Japanese Studies Association in Southeast Asia (JSA-ASEAN) Conference bertempat di Cebu-Filipina pada tahun 2016 silam. Ia menawarkan kesempatan kepada saya untuk berbicara mengenai budaya cosplay Indonesia di workshop yang akan diselenggarakan oleh Pusat Studi Jepang UHM pada bulan Mei di Hawaii-Amerika Serikat. Tawaran ini tentu dengan senang hati saya terima, mengingat ini adalah kesempatan untuk mempresentasikan hasil riset yang saya lakukan sekaligus mendapat relasi baru dari kalangan akademisi studi Jepang lainnya.
Meskipun menjadi salah satu negara bagian dari Amerika Serikat, Hawaii adalah satu-satunya negara bagian yang terletak di Samudera Pasifik dengan jarak sekitar 4.000 kilometer dari negara bagian terdekat yaitu California. Hawaii, yang beribu kota Honolulu, terkenal sebagai salah satu destinasi wisata dunia yang menawarkan wisata alam seperti pantai dan pegunungan yang indah. Perjalanan saya dari Jakarta menuju Honolulu menempuh waktu selama sekitar 18 jam dengan singgah di Tokyo selama 3 jam. Yang menarik, perbedaan waktu Honolulu yang lebih lambat 17 jam dari Jakarta membuat saya tiba di sana pada tanggal dan jam yang relatif sama dengan waktu keberangkatan dari tanah air.
Gambar 1. Pantai Waikiki dengan latar Diamond Head volcano
(Dokumentasi: Penulis)
Ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Sebelumnya, tahun 2018, saya mempresentasikan hasil penelitian tentang hijab cosplay di konferensi Association for Asian Studies (AAS) yang bertempat di Washington DC-Amerika Serikat. Masih dengan tema yang senada yaitu cosplay sebagai media dakwah kreatif di Indonesia, kali ini saya mempresentasikan tentang kelompok cosplayer laki-laki bernama Organisasi Akatsuki Afkar (selanjutnya disebut Afkar) yang aksi amalnya sempat viral di media sosial pada tahun 2017.
Gambar 2. Presentasi di Hawaii Imin International Conference Center, University of Hawaii at Manoa (Dokumentasi: Rouli Esther)
Afkar yang dibentuk pada tahun 2012 ini berasal dari Desa Kebonsari di Lumajang-Jawa Timur. Hal ini menjadi menarik karena berdasarkan penelitian saya sebelumnya, cosplayer Indonesia umumnya tinggal di kota besar seperti Jabodetabek dan Bandung. Mereka juga berasal dari kalangan anak muda kelas menengah. Hal ini karena festival-festival Jepang dengan skala nasional dan internasional mayoritas diselenggarakan di kota metropolitan.
Karakter yang di-cosplay-kan oleh Afkar, yaitu Akatsuki, berasal dari anime atau animasi Jepang berjudul Naruto. Akatsuki adalah kelompok ninja kriminal yang awalnya dibentuk untuk mengakhiri perang antar ninja dan menjaga kedamaian. Namun, dalam perkembangannya, kelompok ini berubah menjadi jahat sebagai akibat dari berbagai tragedi peperangan yang dialami. Akatsuki kemudian diisi oleh para ninja pengkhianat yang ingin mendapatkan kekuatan tanpa batas dari bijuu atau siluman berekor, yaitu makhluk terkuat di semesta Naruto, untuk mendominasi dan mengatur tatanan kehidupan dunia. Imbasnya, Akatsuki menjadi kumpulan para ninja terkuat dan misterius dengan sistem organisasi yang tersusun rapi dan keanggotaan dengan loyalitas tinggi. Masing-masing anggota Akatsuki memiliki tingkat keahlian tinggi dan fokus pada satu tujuan bersama. Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi Afkar saat membentuk Organisasi Akatsuki Afkar.
Gambar 3. Sunan Kalijaga, Salah Satu Walisongo penyebar Islam di Indonesia
(Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/94179/cerita-sunan-kalijaga-dilarang-pergi-haji-ke-makkah)
Menurut Irfianto, anggota Afkar yang bertanggung jawab Bagian Publikasi dan Dokumentasi, sebuah kisah mengenai Sunan Kalijaga sebagai Brandal Lokajaya juga menjadi salah satu faktor terilhaminya Afkar dalam memilih karakter Akatsuki. Alkisah, Sunan Kalijaga yang kala itu masih dikenal sebagai Raden Said putra dari Adipati Arya Wilwatikta asal Tuban, menentang tindakan ayahnya yang keras terhadap rakyat dengan memberlakukan pajak tinggi. Ia pun tidak sepakat dengan tindakan penimbunan bahan makanan di lumbung sementara rakyat mengalami kelaparan. Raden Said kemudian berinisiatif membagikan bahan makanan untuk rakyat. Hal ini kemudian membawa kemurkaan bagi Adipati Arya Wilwatikta sehingga Raden Said diusir dari istana Tuban. Dalam pengelanaannya, Raden Said bertemu dengan bandit sakti bernama Brandal Lokajaya yang suka merampok rakyat dan pedagang. Setelah berhasil mengalahkan Brandal Lokajaya, Raden Said mengambil identitas Brandal Lokajaya yang selama ini selalu mengenakan topeng sehingga wajahnya jarang diketahui orang lain. Raden Said kemudian merampok upeti kerajaan untuk dibagikan kembali kepada rakyat miskin. Karakter jahat yang digunakan Raden Said untuk berbuat kebaikan pun menjadi inspirasi pemilihan karakter Akatsuki dalam pembentukan Organisasi Akatsuki Afkar. Dalam perkembangannya, Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya seperti wayang kulit, batik lurik, gamelan, dan tembang untuk menyebarkan Islam. Penggunaan media budaya membuat Islam relatif mudah diterima luas oleh masyarakat Jawa yang kala itu masih menganut ajaran Hindu Buddha.
Nama Akatsuki Afkar berarti awal untuk berpikir atau berpikir sebelum bertindak. Afkar didirikan untuk misi sosial dan kemanusiaan seperti pemberian santunan kepada fakir miskin, kaum lanjut usia, dan anak yatim. Mereka juga bertugas dalam pengamanan dan pengawalan para kyai dan pejabat penting saat ada kegiatan keagamaan seperti pengajian dan tabligh akbar. Selain itu, Afkar juga turut mendukung program pemerintah seperti gerakan anti golongan putih (golput) bekerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Lumajang, gerakan pendidikan sembilan tahun, dan gerakan desa wisata. Kehadiran Afkar di berbagai acara tersebut tentu memberikan keunikan tersendiri. Tingkat popularitas anime Naruto dan penjungkir balikan karakter Akatsuki dari jahat ke baik pun menjadi daya pikat utama agar anak-anak dan remaja tertarik untuk menghadiri kegiatan dan mengikuti nilai-nilai kebaikan yang ditunjukkan oleh Afkar.
Gambar 4. Akatsuki Afkar (berjubah hitam dan berpeci) sedang melakukan pengawalan kepada Hadratus Syekh K.H Achmad Ja’far bin Abdul Wahed di Pondok Pesantren Darul Ulum Sampang pada tahun 2016
(Dokumentasi: Organisasi Akatsuki Afkar Facebook)
Yang menarik, anggota Afkar adalah Nahdiyyin atau warga Nahdlatul Ulama (NU). Sebagian besar dari mereka adalah anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU yang telah terlatih dan terdidik secara militer. Anggota Afkar yang menyukai anime menggunakan cosplay sebagai media dakwah untuk menarik kembali minat anak muda dalam mengamalkan nilai-nilai Islam. Pun demikian, bagi Afkar, cosplay yang mereka tampilkan bukanlah semata-mata untuk mengembangkan budaya Jepang, melainkan untuk mengasah kreativitasan anak bangsa. Gerakan sosial yang dikemas dalam bentuk cosplay dengan menggunakan karakter terbalik dari karakter Akatsuki membuat kelompok cosplayer asal Lumajang ini mampu menarik perhatian tidak hanya komunitas cosplay tapi juga masyarakat umum (Editor Ibnu Nadzir).
Referensi
Sumber Gambar Unggulan: Organisasi Akatsuki Afkar Facebook
___________________________________
*) Artikel ini adalah catatan perjalanan saat penulis mempresentasikan penelitiannya berjudul “Akatsuki Afkar: Creative Dawah (Preaching Islam) through Cosplay in Indonesia” di workshop Japan/ Japanese Studies Through a Southeast Asian Lens pada 21-25 Mei 2019 di University of Hawaii at Manoa (UHM), Hawaii-Amerika Serikat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Organisasi Akatsuki Afkar, khususnya kepada Sdr Irfianto, selama proses penelitian.
____________________________________
TENTANG PENULIS
Ranny Rastati, often called Chibi, is a Researcher at Research Center for Society and Culture-Indonesian Institute of Sciences (PMB-LIPI). She received her bachelor’s in Japanese Studies at University of Indonesia and master’s in Communication Studies at University of Indonesia. Publications include popular books such Ohayou Gozaimasu (2014) and Korean celebrity: Daehan Minguk Manse (2015); articles journal on hijab cosplay (2015), cyberbullying (2016), Islamic manga (2017), media literacy (2018), halal tourism (2018), and cosplay as creative dawah (2019). Her research interests include cosplay, Japan and Korean pop culture, also media studies. Her current research topics are hijab cosplay as preaching Islam, cosplay as contents tourism and halal tourism that have been presented in the USA, Japan, and Southeast Asia. She also manages a nonprofit organization for social activity and voluntary service, Chibi Ranran Help Center (www.chibiranranhelpcenter.com), since 2013. Her works can be viewed via personal blog rannyrastati.wordpress.com. She can be contacted at ranny.rastati@gmail.com.
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah