[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 9, Februari 2022]

Oleh Krisharyanto Umbu Deta (Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies – Universitas Gadjah Mada)

Kasus-kasus perampasan tanah adat semakin marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Baru-baru ini saja misalnya ramai kabar soal ditangkapnya kepala desa Kinipan di Kalimantan Tengah, warga Marafenfen di Malaku yang berusaha mempertahankan tanah adatnya, dan tindakan represif TNI AD terhadap masyarakat adat di Sikka, Nusa Tenggara Timur, saat berusaha mempertahankan tanahnya. Berita-berita serupa dapat ditemukan diberbagai media nasional dan laman resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), n.d.). Berbagai konflik lahan adat ini hampir semuanya selalu menempatkan masyarakat adat dan penganut agama leluhur dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan cenderung ditekan.

Masyarakat adat sedemikian keras mempertahankan tanah mereka karena alam memang sangat signifikan dalam sistem adat dan kepercayaan mereka. Alam adalah bagian penting dalam kehidupan keberagamaan mereka. Namun, kasus-kasus ini hampir tidak pernah direkognisi sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Hal ini terkait erat dengan sejarah panjang eksklusi dan diskrimansi yang mereka alami akibat politik agama dan paradigma agama dominan yang tidak mampu memahami religiusitas mereka (Maarif, 2016, 2017, 2019). Agama dan religion dalam sejarahnya telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga kelompok masyarakat seperti masyarakat adat dan penganut agama leluhur tidak dapat direkognisi sebagai agama (Masuzawa, 2005; Picard, 2011; Smith, 1964). Di Indonesia misalnya, penyebutan agama leluhur sebagai ‘kepercayaan’ diantaranya disebabkan oleh keengganan untuk mengakui mereka sebagai ‘agama’ yang setara dengan Konghucu, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Islam.

Narasi-narasi modernisasi dan pemberadaban yang menganggap mereka animis, primtif, dan anti kemajuan juga ikut memperkuat hegemoni ini (Blok & Torben, 2011; Cox, 2007; King, 2001). Dalam kaitannya dengan konflik tanah adat, paradigma yang umum mengenai agama tidak mampu memahami bagaimana alam bisa menjadi bagian signikan dari suatu bentuk keberagamaan. Oleh sebab itu bagaimana mungkin kasus yang berkaitan dengan tanah disangkut-pautkan dengan kebebasan beragama.

Kasus-kasus serupa bukan hanya terjadi di Indonesia. Pola eksklusi dan misrekognisi terhadap masyarakat adat dan penganut agama leluhur juga terjadi di berbagai negara-negara Amerika, Eropa, Afrika, dan Australia. Kajian-kajian mengenai tereksklusinya masyarakat adat dan agama leluhur dari konseptualisasi ‘agama’ dan inheren dengan itu ‘kebebasan beragama’ cukup progresif dilakukan di Amerika dan Kanada. Tisa Wenger misalnya meneliti tentang bagaimana konsep agama terlalu sempit untuk dapat mengakomodir kehidupan keberagamaan suku Pueblo Indian. Alih-alih menjadi alat politik untuk keadilan, kebebasan beragama justru memaksa suku Pueblo melakukan negosiasi-negosiasi identitas tertentu agar fit in dengan konsep tersebut (Wenger, 2009). Sejalan dengan itu McNally (2020) dan Shrubsole (2019) juga mengargumentasikan ‘kebebasan beragama’ sebagai sebuah ketidakmungkinan bagi masyarakat adat dan penganut agama leluhur sehingga mereka harus mencari cara dengan perangkat-perangkat hukum dan HAM yang lain untuk mengakses hak mereka termasuk mempertahankan alam. Singkatnya, jika status mereka sebagai agama saja masih dipertanyakan, bagaimana kebebasan beragama bisa dijaminkan kepada mereka?

Shrubsole (2019) bukanlah satu-satunya yang melihat kebebasan beragama bagi masyarakat adat dan penganut agama leluhur sebagai sebuah ketidakmungkinan. Jauh sebelum itu, Sullivan (2005) telah menegaskan hal tersebut melalui bukunya yang berjudul the Impossibility of Religious Freedom. Elisabeth Hurd (2015) juga melihat hal yang sama dan bahkan mengajak kita untuk melampaui kebebasan beragama yang konseptualisasinya dianggap terlalu sempit dan implementasinya sebenarnya tidak lain adalah sebagai alat politik global. Pada tahun 2015 bahkan dilakukan suatu proyek bersama dimana para akademisi membedah kebebasan beragama dari berbagai macam sudut pandang dan menghasilkan buku yang berjudul The Politics of Religious Freedom (Sullivan et al., 2015).

Pada gilirannya, Arvind Sharma (2011) juga melihat kebebasan beragama sebagai suatu konsep yang problematis. Namun ia memberi ruang bagi kemungkinan untuk pergeseran paradigma dalam konseptualisasi kebebasan beragama mengingat bahwa paradigma mengenai ‘agama’ itu sendiri juga sudah mulai terbuka. Pada kesimpulannya, kajian-kajian mengenai kebebasan beragama melihat konsep tersebut secara pesimis karena segudang persoalan di dalamnya, apalagi jika dikaitkan dengan kompleksitas paradigma dan praktik beragama masyarakat adat dan penganut agama leluhur yang sangat distinctive.

Lalu bagaimana sebenarnya kita dapat memahami paradigma dan praktik keberagaman masyarakat adat dan penganut agama leluhur itu? Mengapa alam signifikan dalam religiusitas mereka? Hal ini dapat dipahami dengan cara menggeser paradigma kita dari yang eksklusif ke yang lebih inklusif (Maarif et al., 2019). Dalam paradigma agama dominan ditemukan, agama dipahami sebagai yang berkaitan dengan hubungan manusia dan Tuhan. Sementara hubungan manusia dan alam cenderung dipahami sebagai hubungan subyek-obyek. Alam dilihat sebagai yang keberadaannya adalah semata untuk kepentingan manusia. Dalam kehidupan beragama, alam tidak begitu signifikan. Namun, dalam paradigma agama leluhur, hubungan manusia dan alam adalah hubungan subyek-subyek. Karena itu, kosmologi mereka disebut intersubyektif. Dalam hal ini, agama bagi mereka bukan hanya identik dengan hubungan manusia dan Tuhan, tetapi juga dengan alam. Alam dilihat sebagai subyek penting karena ia telah memberi banyak pada manusia (Maarif, 2019). Dalam adat beberapa agama leluhur, alam disebut sebagai ‘ibu bumi’ karena telah menghidupi manusia. Dengan demikian, manusia juga mesti merawat bumi. Dalam hubungan intersubyektif inilah manusia menghayati keberagamaannya. Keintiman mereka dengan alam adalah bagian penting dari religiusitas mereka. Artinya merebut alam mereka sama dengan melanggar kebebasan beragama mereka.

Begitu signifikannya alam bagi masyarakat adat dan penganut agama leluhur mengimplikasikan bahwa seharusnya kasus-kasus perampasan tanah adat dihitung sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Bagi mereka, kehilangan tanah bukan sekedar soal kehilangan property, karena tanah adalah subyek yang pada dirinya sendiri memiliki nilai. Paradigma yang demikian membuat agama leluhur menjadi garda terdepan saat ini dalam preservasi lingkungan. Kontribusi mereka dalam menghadapi krisis ekologis yang mengglobal diakui dunia (Northcott, 2021). Di sisi lain signifikansi alam dalam religiusitas mereka juga memberi ruang bagi ‘kebebasan beragama’ -yang telah dianggap problematis dan tidak mungkin- untuk menjadi alat inklusi bagi mereka. Kebebasan beragama sebagai suatu hak asasi manusia tidak dapat direduksi kepada hak atas lingkungan hidup misalnya (Bielefeldt & Wiener, 2020).

Kebebasan beragama memang problematis, namun ia juga belum selesai. Artinya ia masih bisa direkonstruksi untuk memperluas cakupannya sehingga masyarakat adat dan penganut agama leluhur bersama dengan religiusitas mereka yang ‘ekologis’ dapat diakomodir dalam konseptualisasi dan implementasi kebebasan beragama. Bagi mereka menjadi religius dan menjadi ekologis tak terpisahkan, maka ‘kebebasan beragama’ yang merupakan hak asasi ‘manusia’ harusnya juga dijaminkan kepada mereka demi komitmen kemanusiaan itu sendiri. (Editor: Jalu Lintang Y.A)

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). (n.d.). https://aman.or.id/

Bielefeldt, H., & Wiener, M. (2020). Religious Freedom under Scrutiny. University of Pennsylvania Press.

Blok, A., & Torben, E. J. (2011). Bruno Latour: Hybrid Thoughts in a Hybrid World. Routledge.

Cox, J. (2007). From Primitive to Indigenous: the Academic Study of Indigenous Religions. Ashgate Publishing, Ltd.

Hurd, E. S. (2015). Beyond Religious Freedom–The New Global Politics of Religion. Princeton University Press.

King, R. (2001). Orientalism and Religion. Routledge.

Maarif, S. (2016). Kajian Kritis Agama Lokal. In S. Maarif (Ed.), Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman. Center for Religious and Cross-cultural Studies, Gadjah Mada University.

Maarif, S. (2017). Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia. CRCS UGM.

Maarif, S. (2019). Indigenous Religion Paradigm: Re-interpreting Religious Practices of Indigenous People. 哲学・思想論集= Studies in Philosophy, 44.

Maarif, S., Mubarak, H., Sahroni, L. F., & Dyah Roessusita. (2019). Merangkul Penghayat Kepercayaan Melalui Advokasi Inklusi Sosial (Laporan Ke). CRCS UGM.

Masuzawa, T. (2005). The Invention of World Religions: or, How European Universalism was Preserved in the Language of Pluralism. Chicago. University of Chicago Press.

McNally, M. D. (2020). Defend the Sacred: Native American Religious Freedom Beyond the Fist Amandement. Princeton University Press.

Northcott, M. (2021). Religion and Ecology in Indonesia After Covid-19. In Z. A. Bagir, M. Northcott, & F. J. S. Wijsen (Eds.), Varieties of Religion and Ecology: Dispatches from Indonesia. LitVerlag.

Picard, M. (2011). Introduction: “agama”, “adat”, and Pancasila. In M. Picard & R. Madiner (Eds.), The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contentions in Java and Bali. Routledge.

Sharma, A. (2011). Problematizing Religious Freedom (Vol. 9). Springer.

Shrubsole, N. (2019). What Has No Place, Remains: The Challenges for Indigenous Religious Freedom in Canada Today. University of Toronto Press.

Smith, W. C. (1964). The Meaning and End of Religion. Mentor Books.

Sullivan, W. (2005). The Impossibility of Religious Freedom. Princeton University Press.

Sullivan, W., Hurd, E. S., Mahmood, S., & Danchin, P. G. (Eds.). (2015). The Politics of Religious Freedom. University of Chicago Press.

Wenger, T. (2009). We Have a Religion: The 1920s Pueblo Indian Dance Controversy and American Religious Freedom. University of North Carolina Press.

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________ 

Tentang Penulis

Krisharyanto Umbu Deta berasal dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Penulis merupakan mahasiswa di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada sejak tahun 2020 dan sedang melakukan penulisan tesis dengan topik Indigenous Religious Freedom. Sebelumnya penulis menyelesaikan studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Penulis memiliki minat pada studi agama lokal, ekologi, dan politik agama. Ia aktif menulis di beberapa media seperti islami.co, Geotimes, IJIR IAIN Tulungagung, dan terutama di website Pendidikan Publik CRCS UGM. Penulis dapat dihubungi melalui email: krisharyantoud@gmail.com

 

 

1 KOMENTAR