Home Artikel #80JUTA BISA DAPAT APA?: KONTROL PATRIARKI DIBALIK TAGAR #80JUTA

#80JUTA BISA DAPAT APA?: KONTROL PATRIARKI DIBALIK TAGAR #80JUTA

0

Sumber:http://jateng.metrotvnews.com/read/2017/03/08/668666/kekerasan-perempuan-merambah-ke-dunia-maya

Perkembangan teknologi yang semakin pesat di era digital ini membuat berselancar di internet menjadi hal yang sangat lumrah dilakukan orang banyak. Berselancar di dunia maya tidak hanya terbatas pada pencarian informasi dan berbelanja saja tetapi juga sebagai sarana interaksi sosial antara satu pengguna dengan pengguna lainnya. Interaksi sosial yang terjadi pun bermacam macam dari berkenalan hingga berkencan melalui media sosial. Pemerintah pun telah menetapkan peraturan guna melindungi pengguna media sosial melalui UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun tetap saja,  kekerasan berbasis siber tetap terjadi.

Menurut Komnas Perempuan (2018: 56) kekerasan berbasis siber ini mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, dan persekusi-persekusi. Kekerasan siber yang masif ini terus terjadi berulang-ulang karena kurangnya pelaporan dan penanganan. Di media sosial, perempuan sering kali dijadikan objek pornografi melalui asosiasi tubuh dengan konotasi negatif. Pelecehan seksual melalui media sosial yang menimpa Via Vallen pada 4 Juni 2018 menjadi satu dari sekian banyak kasus pelecehan seksual yang terus bertambah setiap tahunnya.

Pada tahun 2016 sebuah survei daring yang diadakan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co, bekerja sama dengan Change.org Indonesia menunjukkan bahwa 1636 dari 25.000 responden pernah mengalami pelecehan seksual dan 58 persen mengalami pelecehan seksual verbal.  Penelitian yang dilakukan oleh  Bestha Inatsan Ashila MaPPI FHUI pada periode Agustus hingga Oktober 2017 mencatat 257  pemberitaan mengenai kekerasan seksual di media sosial di Indonesia. Pemberitaan tersebut menyasar korban anak – anak dan perempuan sebanyak 83% dan perempuan dewasa  sebanyak 17%[1]. Komnas Perempuan (2018: 56) memetakan kekerasan seksual yang diberitakan melalui media sosial sebagai berikut:

Sumber: Komnas Perempuan 2018

Berdasarkan data tersebut, kekerasan seksual daring yang paling banyak terjadi adalah pelecehan seksual dan distribusi foto atau video pribadi. Inilah yang terjadi pada kasus terbaru yang menarik banyak respon masyarakat hingga 7443 cuitan dalam 1 malam. Tagar 80juta di twitter berhasil menempati posisi pertama di trending topic. Tagar tersebut mencuat setelah beberapa media massa memberitakan tentang kasus prostitusi daring yang melibatkan seorang artis Ibukota dan seorang pengusaha pria.

Pelecehan verbal dan visual daring

Sumber: https://tirto.id/pelecehan-verbal-dan-visual-sisi-remang-dunia-kencan-online-ctrV

Mayoritas kicauan tersebut berisi pelecehan verbal terhadap sosok perempuan dengan mengesampingkan si pria. Twit salah satu pengguna twitter “Perempuan mah dengkak dapet uang , coba laki2 harus jual ginjal dulu gituh biar bisa pake #80juta” Penggunaan kata “dengkak” yang dihubungkan dengan cara mendapatkan uang merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual secara verbal. Kicauan tersebut mengganggap bahwa perempuan dengan mengandalkan tubuh bisa mendapatkan uang dengan lebih mudah daripada pria. Selain pelecehan verbal, pelecehan visual pun dilakukan oleh para penghuni dunia maya. Si pelaku perempuan digambarkan dengan ikan yang dijual di pasar. Kondisi ikan yang masih utuh dan segar dihargai dengan 80 juta, sedangkan ikan yang sudah dengan kondisi tidak segar lagi dilabeli dengan harga yang lebih murah.

Yang patut disayangkan lagi, semua cuitan dengan tagar #80juta di twitter tidak menyamarkan nama si perempuan. Bahkan penyebutan nama lengkap terdapat di setiap cuitan. Padahal penggunaan inisial merupakan perlindungan bagi si perempuan dengan asas praduga tak bersalah yang sudah diatur dalam KUHAP dan UU No. 48 tahun 2009.

Objektifikasi perempuan

Sumber: https://rappler.idntimes.com/yetta-tondang/opini-ruang-aman-perempuan-di-dunia-maya.

Dalam pelecehan verbal yang dilakukan, perempuan dijadikan sebagai objek seksual seperti halnya yang terjadi pada twit berikut:

“gegara #80juta semua mata terpana, barang sm bentuk tp desahan, buat beda hrg. #kampret

Objektifikasi perempuan terlihat jelas pada cuitan tersebut. Perempuan dijadikan objek fantasi pria yang dikategorikan dengan desahan dan bentuk organ vital. Objektifikasi seperti ini merupakan salah satu dari produk patriarki yang ada di Indonesia di mana perempuan ditempatkan hanya menjadi objek pemuas pria. Perempuan dinilai dari kualitas layaknya sebuah barang yang harus ditentukan layak atau tidaknya untuk digunakan.

“Why pay #80juta for sex while you can have it free when you get a wife”

Kicauan tersebut kembali melegitimasi posisi perempuan di masyarakat yang dianggap sebagai alat pencapai kepuasan oleh pria yang kemudian mengingatkan kita kembali bahwa hal tersebut menjadi salah satu tujuan dari perkawinan. Twit ini di-posting ulang oleh 137 orang dan disukai oleh 131 orang. 27 orang pun mengomentari dengan memberikan tanggapan positif terhadap twit tersebut. Dari 27 orang, 10% yang berkomentar adalah perempuan dan 90% pria. Hal ini turut membuktikan bahwa perempuan telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga selalu berada di bawah bayang-bayang hegemoni laki laki.

Penyebaran foto pribadi tanpa ijin

Kekerasan daring yang juga terjadi dengan menggunakan tagar #80juta adalah penyebaran foto pribadi pihak perempuan. Penyeberan foto pribadi tanpa ijin oleh orang lain untuk menyebarkan konten negatif jelas jelas merupakan salah satu bentuk kekerasan. Untuk mendukung penyebaran konten pelecahan, pengguna Twitter menggunakan foto pribadi pihak perempuan yang disandingkan dengan barang misalnya dengan roti yang mempunyai merek dagang yang sama dengan nama si perempuan. Persekusi seperti ini dianggap sudah seyogyanya diterima oleh si perempuan. Namun tidak ada satupun kicauan yang menjurus pada pelecehan verbal maupun visual kepada si pria.

Antusias terhadap sosok perempuan namun apatis terhadap si pria. Inilah yang ditemukan dalam setiap twit bertagar #80juta. Fenomena sosial ini menunjukan bahwa produksi dan pemertahanan patriarki terus berlangsung di masyarakat di mana kekuasaan dipegang sepenuhnya oleh pria. Banyaknya twit yang melecehkan pihak tertentu juga disebabkan oleh kurangnya kontrol di media sosial. Di media sosial setiap pengguna melakukan role-play identity. Mereka berhak menggunakan nama samaran atau identitas palsu dalam mengekspresikan kebebasan berpendapat. Alih alih menjunjung kekebasan dalam berpendapat, anonimitas ini malah menjadi patologi demokrasi.

Beranjak dari fenomena pelecehan daring tersebut pemahaman gender dan kekerasan dirasakan perlu adanya. Masyarakat awam yang masih belum mengerti sepenuhnya apa saja yang termasuk pada kategori kekerasan perlu diberikan pendidikan lebih lanjut sehingga tidak terjadi lagi kekerasan di masyarakat. Mempercepat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi tindakan yang sangat penting untuk dilakukan.

Referensi:

Change.org Indonesia. 2016. Hasil Survey Kekerasan Seksual di Indonesia diakses dari https://www.change.org/l/id/changeorg-indonesia-changeorg-blog

Komnas Perempuan. 2018. Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme: Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017. Jakarta: Komnas Perempuan

Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Jakarta: Mahkamah Agung

Pemerintah Indonesia . 2016. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lembaran RI Tahun 2016. Jakarta: Kementrian Komunikasi dan Informatika

Wana, B. A. 2016. Indonesia Darurat Kekerasan Seksual diakses dari https://www.rappler.com/indonesia/berita/189514-indonesia-mengalami-darurat-kekerasan-seksual


[1] https://www.rappler.com/indonesia/berita/189514-indonesia-mengalami-darurat-kekerasan-seksual)

Tentang Penulis


Farieda Ilhami Zulaikha,  yang biasa disapa Riri telah menyelesaikan pendidikan sarjana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2010 dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat dan magister Ilmu Linguistik pada tahun 2017 dari universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saaat ini merupakan dosen aktif di Universitas Perjuangan Tasikmalaya di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Sejak mengenyam pendidikan pascasarjana, ia tertarik meneliti bidang gender dan bahasa khususnya kajian Linguistik Antropologi. Ia menuangkan ketertarikannya melalui penelitian dan esai dari tahun 2016. Alamat email: riri.rieda@gmail.com.

NO COMMENTS

Exit mobile version